SIDOARJO – METROPAGINEWS.COM || Komitmen PT Suparma terhadap lingkungan patut diapresiasi. Melalui program Corporate Social Responsibility (CSR), perusahaan ini secara rutin menggelar kegiatan pembersihan anak Sungai Mas setiap pekan. Aksi nyata ini menyasar wilayah aliran sungai yang melintasi Desa Tawangsari dan Desa Krembangan, Kecamatan Taman, Kabupaten Sidoarjo.
Tujuan kegiatan ini jelas: mengurangi tumpukan sampah yang mencemari sungai, mencegah potensi banjir, serta menjaga kualitas air yang dimanfaatkan warga untuk kebutuhan harian. Tumpukan sampah yang dibiarkan bukan hanya menyebabkan bau menyengat, tetapi juga mengancam kualitas air PDAM yang digunakan masyarakat setempat.
Namun, di balik semangat perusahaan swasta ini, ada ironi yang mencuat ke permukaan: minimnya peran aktif pemerintah desa. Saat awak media mencoba mengonfirmasi kepada Lurah Desa Tawangsari mengenai keterlibatan pemerintah setempat, jawaban yang diberikan justru menimbulkan tanda tanya.
“Kami masih memonitor,” ujar sang lurah singkat, seolah sedang berbicara tentang krisis nasional alih-alih kegiatan gotong royong di halaman rumah sendiri.
Ketika ditanya lebih lanjut soal kemungkinan dukungan atau partisipasi pemerintah kelurahan, responsnya tak kalah datar:
> “Itu kan inisiatif perusahaan. Kita lihat dulu hasilnya.”
Sikap ini menuai kekecewaan, terutama dari warga yang selama ini hidup berdampingan dengan aliran sungai yang kerap dipenuhi limbah dan sampah rumah tangga. “Kalau nunggu hasil dulu baru bertindak, ya nanti yang kebanjiran siapa? Kan kami juga,” keluh salah seorang warga RW 2, Tawangsari.
Di tengah minimnya aksi dari pemangku wilayah, PT Suparma justru tampil sebagai pihak yang lebih “bekerja” nyata untuk masyarakat. Fakta ini menyisakan pertanyaan besar: siapa yang sebenarnya bertugas menjaga lingkungan dan kesejahteraan warga — perusahaan atau pemerintah?
Program CSR seperti ini sejatinya dapat menjadi pemantik sinergi antara sektor swasta dan pemerintah daerah. Namun jika lurah lebih memilih duduk diam “memantau” dari balik meja, sementara sampah terus mengalir ke sungai dan ancaman banjir membayangi, publik tentu berhak mempertanyakan urgensi kehadiran pemerintah desa.
Semoga ke depan, tidak ada lagi istilah “monitoring berkepanjangan” untuk urusan yang seharusnya bisa ditangani bersama. Meja kerja pemerintah desa seyogianya menjadi tempat kerja, bukan sekadar pos pantau.
(Redho).
Komentar Klik di Sini