BerandaHukumWarga Sukodono Diduga Jadi Korban Intimidasi: Dipaksa Akui Penganiayaan dan Bayar Rp14...

Warga Sukodono Diduga Jadi Korban Intimidasi: Dipaksa Akui Penganiayaan dan Bayar Rp14 Juta

MALANG – METROPAGINEWS.COM II Empat warga Desa Sukodono, Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang, berinisial D, S, N, dan C, mengaku menjadi korban dugaan intimidasi dan pemaksaan setelah dituduh melakukan penganiayaan terhadap warga Desa Kedungbanteng, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, saat karnaval Desa Sidoasri pada awal September 2025 lalu.

Mereka mengaku awalnya hanya berniat melerai keributan di tengah kerumunan penonton karnaval.

“Kami melihat teman kami hampir berkelahi, jadi kami melerai. Tidak ada yang kami pukul,” ujar D kepada wartawan.

Namun, sehari setelah kejadian, keempatnya dipanggil ke rumah salah satu kepala dusun dan dipaksa menandatangani surat pengakuan penganiayaan serta kesepakatan membayar ganti rugi Rp14 juta kepada pihak yang mengaku korban.

“Kami tanda tangan karena takut dilaporkan ke polisi. Kami tidak paham hukum,” tutur salah satu warga dengan nada kecewa.

Menurut mereka, ancaman pelaporan ke polisi membuat mereka tak berdaya. Meski sudah mencoba menawarkan pembayaran sebagian, permintaan ditolak.

“Katanya harus lunas Rp14 juta, kalau tidak, kasus akan dinaikkan ke polisi,” sambungnya.

IMG 20251110 WA0085

Perangkat Desa Sebut “Hanya Menjembatani”

Kasi Pemerintahan Desa Kedungbanteng saat dikonfirmasi membenarkan adanya kesepakatan uang Rp14 juta, namun mengklaim dirinya hanya menjembatani permintaan korban.

“Itu permintaan pihak korban, bukan keputusan resmi. Kalau tidak mau bayar, biar Polsek yang memediasi,” ujarnya santai di kantor desa.

Sementara Kepala Desa Sukodono, Suharto, juga membenarkan adanya pertemuan musyawarah tersebut. Ia menyebut, kedua pihak membuat pernyataan kekeluargaan  dan kesepakatan tidak di lanjutkan dan damai secara kekeluargaan dimediasi pak kasun

Polsek Sumbermanjing Wetan sendiri membantah adanya koordinasi resmi terkait kasus ini. Seorang anggota Bhabinkamtibmas menegaskan,

“Saya hanya disampaikan cerita saja. Tidak ada konsultasi resmi ke Polsek. Saya bahkan sarankan agar langsung ke Kanit Reskrim.”

Ketua LSM Gerrindo Malang, Yudi Yuliadmoko, mengecam keras praktik semacam ini.

“Ini bukan penyelesaian kekeluargaan, ini intimidasi dan potensi kriminalisasi warga kecil,” tegasnya.

Menurut Yudi, pemaksaan pembayaran disertai ancaman laporan polisi dapat dijerat Pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan dan Pasal 368 KUHP tentang pemerasan.
Selain itu, tindakan memaksa warga mengakui perbuatan tanpa bukti sah melanggar Pasal 66 KUHAP yang menegaskan bahwa tersangka tidak wajib membuktikan kesalahannya sendiri.

Tindakan oknum perangkat desa yang diduga menggunakan jabatan untuk menekan warga juga bertabrakan dengan prinsip hak asasi manusia, sebagaimana diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999, khususnya:

Pasal 17: Setiap orang berhak atas kepastian hukum yang adil.

Pasal 18: Tidak seorang pun boleh dipaksa mengakui perbuatan yang tidak dilakukannya.

Selain itu, UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa mengamanatkan agar perangkat desa menjunjung tinggi asas keadilan, keterbukaan, dan perlindungan terhadap warga.

“Oknum perangkat desa yang bertindak seperti polisi dan jaksa sekaligus jelas melanggar etika pemerintahan,” tegas Yudi.

Desakan Publik: Inspektorat dan Polres Harus Turun Tangan

Masyarakat menilai praktik “damai bermaterai di bawah tekanan” ini berpotensi menjadi preseden buruk bagi hukum desa.

“Kalau pelaku belum jelas, jangan ada tekanan atau ancaman. Itu bukan mediasi, tapi pemaksaan sepihak,” kata salah satu tokoh masyarakat.

Publik mendesak Inspektorat Kabupaten Malang, Polres Malang, serta Dewan Pembina Kecamatan untuk turun tangan dan memeriksa dugaan penyalahgunaan wewenang ini.

“Keadilan desa tidak boleh diganti dengan surat bermaterai dan ancaman hukum,” ujar Yudi menutup.

Sampai berita ini ditayangkan, pihak yang mengaku korban enggan memberikan keterangan.

“Saya tidak bisa memberikan informasi,” jawab singkatnya.

Catatan Redaksi:

Kasus ini menjadi potret buram bagaimana persoalan kecil di desa bisa berubah menjadi tekanan besar bagi warga ketika hukum dijalankan dengan rasa takut, bukan keadilan.

Reporter : Tim

Komentar Klik di Sini