CIMAHI – metropaginews.com || Ketua Dewan Pimpinan Pusat Aliansi Jurnalis Media Independen Indonesia (DPP AJMII), Achmad Syafei menyikapi atas beredarnya berita di beberapa media online terkait pemanggilan oleh Kepolisian Resort Garut (Polres Garut) terhadap salah seorang wartawan media online berinisial SS. Wartawan tersebut dilaporkan dengan dugaan pencemaran nama baik oleh Ketua Dewan Pimpinan Kecamatan (DPK) Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia (APDESI) Kecamatan Karangpawitan Kabupaten Garut Jawa Barat.
Terkait dengan kasus yang menimpa SS yang juga merupakan anggota Aliansi Jurnalis Media Independen Indonesia (AJMII) Kabupaten Garut, Ketua DPP AJMII, Achmad Syafei mengatakan, ”Saya atas nama Ketua DPP AJMII menyayangkan tindakan yang dilakukan oleh pelapor terhadap SS, padahal bukti sudah dimiliki oleh SS yang melakukan investigasi.” ucapnya.
Menurut Achmad, bila terjadi perselisihan antara masyarakat dengan wartawan terkait isi pemberitaan, masyarakat sebaiknya melakukan musyawarah dengan wartawan yang bersangkutan dan meminta hak jawab melalui media online yang memberitakannya.
“Saya yakin SS sudah melakukan tugasnya secara profesional dengan dengan berpegang pada kode etik jurnalistik. Saya berharap kasus ini diusut segera sampai tuntas agar siapa yang bersalah dapat menerima konsekwensinya di mata hukum,” tambah Achmad dengan tegas.
Hal senada diungkapkan oleh Biro Hukum DPP AJMII, Dr. Eko Wijaya, S.H., M.H., yang ikut memberikan kajian hukum terkait permasalahan yang menimpa salah satu anggota AJMII Kabupaten Garut tersebut. Menurut Eko, terkait laporan polisi yang dilakukan oleh Ketua DPK APDESI Kecamatan Karangpawitan tersebut cacat hukum.
“Menurut kajian hukum saya terkait laporan polisi tersebut, cacat hukum. Pertama, di dalam laporan polisi tersebut Polres Garut bergerak atas laporan informasi. Dalam PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 50/PUU-VI/2008 DAN NOMOR 2/PUU-VII/2009 TENTANG PENGUJIAN PASAL 27 AYAT (3) UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK, KUHAP dan UU, tidak dibenarkan delik aduan UU ITE, polisi bergerak berdasarkan laporan informasi. Mengapa? Karena seharusnya korban yang merasa dirugikanlah yang harus melaporkan dugaan tindak pidana pencemaran nama baik, sedangkan dalam surat panggilan tersebut tidak dijelaskan siapa pelapornya?” Ungkap Eko Wijaya.
Selanjutnya Biro Hukum DPP AJMII tersebut menyatakan sangat menyayangkan adanya laporan tersebut yang menurutnya bertujuan untuk membungkam insan pers.
“Kedua, laporan ini hanya untuk membungkam insan pers, di dalam menjalankan profesinya pasti rekan-rekan media / wartawan mengedepankan kode etik jurnalistik, sehingga harusnya pihak pelapor memberikan hak jawabnya jika nama baik dan kehormatannya terserang oleh pemberitaan. Ketiga, konsekuensi hukum bagi pelapor apabila laporan tersebut tidak bisa dibuktikan, baik delik & unsurnya, maka pihak pelapor juga bisa dilaporkan balik oleh terlapor (SS) karena SS merasa dirugikan atas dugaan tindak pidana Pasal 242 KUHP laporan palsu dan pencemaran nama baik. Ketiga, laporan informasi tersebut tidak ada akibat hukum dan hanya sebatas klarifikasi, kecuali korban membuat LP tertulis pro justitia baru,” pungkas Eko dengan nada geram.
Sementara ini, seperti dilansir dari swarajabar.com, SS yang ditemui awak media di kediamannya di Kampung Salajunti RT 02 RW 04, Desa Situsari, Kecamatan Karangpawitan pada Kamis (12/1/2023) kemarin mengatakan, “Saya ini seorang wartawati dari media Rakyat Simpati Indonesia. Keseharian saya sesuai dengan tugas wartawan mengumpulkan, mengelola informasi, serta menyampaikannya kepada masyarakat dengan tujuan untuk meningkatkan intelektualitas masyarakat. Dalam KUHP sudah jelas Ayat 3 Pasal 310 KUHP, tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.”
Dengan adanya adanya pemanggilan tersebut, SS tetap tenang karena merasa dirinya tidak bersalah. Bahkan, dia mempunyai bukti otentik berupa kwitansi pengambilan uang dari bendahara desa yang ditandatangani oleh Sekretaris Apdesi Kecamatan Karangpawitan dan bukti rekaman percakapan antara salah seorang kepala desa terkait pungutan sebesar Rp 6 juta yang dilakukan oleh DPK APDESI Kecamatan Karangpawitan kepada sejumlah Kepala Desa di Kecamatan Karangpawitan. (*)
Sumber berita: Siaran pers DPP AJMII