ATAMBUA – METROPAGINEWS.COM || Sebuah penemuan penting yang selama puluhan tahun nyaris terlupakan kini kembali mencuat ke permukaan, berkat kolaborasi cerdas antara mahasiswa Universitas Nusa Cendana (Undana) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam program Kuliah Kerja Nyata (KKN) tahun 2025. Pada Sabtu, 19 Juli 2025, tim KKN Kolaborasi ini membantu proses identifikasi ulang sejumlah fosil Stegodon gajah purba di kawasan Cekungan Atambua, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Penemuan fosil ini sebenarnya bukan hal baru. Fosil mamalia besar tersebut telah ditemukan sejak tahun 1970-an. Namun sayangnya, lokasi penemuan belum pernah dikelola secara serius menjadi destinasi geowisata atau objek penelitian berkelanjutan. Kini, harapan baru muncul untuk menjadikan lokasi ini sebagai destinasi geowisata unggulan di Pulau Timor, bahkan Indonesia.

Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) Undana, Dr. Herry Zadrak Kotta, ST., MT., yang mendampingi kegiatan mahasiswa KKN, mengungkapkan bahwa hasil identifikasi ulang berhasil menemukan sedikitnya 20 fragmen fosil Stegodon, termasuk fragmen gading, tulang kaki, dan bagian tubuh lainnya. Penemuan ini menjadi bukti nyata bahwa kawasan Atambua pernah menjadi habitat mamalia besar di masa lampau.
“Penemuan ini bukan hanya benda mati dari masa lalu, tetapi juga bagian dari narasi besar sejarah kehidupan dan perubahan bumi,” ujar Dr. Herry.
Fosil Stegodon bukan sekadar tulang-belulang purba. Ia menyimpan dua makna penting, yakni nilai sejarah dan nilai paleogeografi. Dari sisi sejarah, kehadiran fosil ini menandakan bahwa spesies gajah purba pernah hidup di wilayah Cekungan Atambua. Sedangkan dari sisi paleogeografi, penemuan ini mengindikasikan bahwa sebelum zaman es, wilayah Flores, Alor, dan Timor kemungkinan besar masih terhubung dalam satu daratan besar. Kondisi itulah yang memungkinkan migrasi hewan besar seperti gajah hingga ke kawasan Atambua.
Tak berhenti pada identifikasi, mahasiswa KKN Kolaborasi juga menggagas sebuah museum mini atau galeri seni fosil yang dirancang dengan sentuhan arsitektur vernakular lokal. Adalah Salsabila Atika Lintang, Fennyta Christa Naomi mahasiswa Arkeologi UGM, dan Leonardo Isan Mali, mahasiswa Arsitektur Undana, yang bersama merancang desain galeri tersebut. Konsep ini memadukan nilai estetika, edukasi, dan pelestarian lingkungan, dengan tetap menjaga identitas budaya lokal masyarakat Atambua.
“Kami ingin fosil-fosil ini tidak sekadar disimpan, tetapi menjadi bagian dari edukasi publik dan daya tarik wisata,” kata Salsabila.
Dr. Herry berharap agar Bupati Belu dan Dinas Pariwisata, serta pihak perbankan pemerintah dan swasta di Kabupaten Belu, mendukung pengembangan kawasan ini sebagai destinasi geowisata. Pasalnya, di seluruh Pulau Timor, hanya Kabupaten Belu yang memiliki temuan fosil Stegodon sejauh ini.
“Ini potensi wisata edukatif yang langka, dan dapat menjadi ikon baru Kabupaten Belu. Tak hanya menarik bagi wisatawan, tapi juga untuk dunia akademik dan penelitian global,” imbuh Dr. Herry.
Di balik penemuan ini, ada dua warga sederhana dari Desa Sadi, yakni Pak Yansen dan Pak Adi, yang selama ini menjaga fosil-fosil tersebut dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Mereka menyimpan fragmen-fragmen Stegodon tersebut di rumah, meski belum pernah mendapat perhatian atau apresiasi khusus dari pemerintah.
“Kami rawat fosil ini karena kami tahu ini bukan benda biasa. Kami ingin tempat ini dikenal orang dan jadi tempat wisata,” ujar Pak Yansen.

Dengan semangat kolaboratif antara mahasiswa, akademisi, dan masyarakat lokal, serta dukungan pemerintah, bukan tidak mungkin kawasan Cekungan Atambua akan menjelma menjadi ikon geowisata kelas dunia, setara dengan Sangiran di Jawa Tengah atau Situs Liang Bua di Flores.
Penemuan ini adalah bukti nyata bahwa warisan masa lalu bisa menjadi masa depan ekonomi dan budaya yang berkelanjutan, jika dikelola dengan bijak dan inklusif.
Reporter: Alberto L


Komentar Klik di Sini