OPINI – METROPAGINEWS.COM || Bagaimana menjelaskan hubungan antara bencana alam dan pembangunan ekonomi, pendidikan, kesehatan, tata ruang, politik, dan pertahanan keamanan?
Mengapa bencana alam cenderung dihubungkan dengan kegagalan manusia, alih-alih kegagalan pembangunan? Mengapa pembangunan cenderung dianggap sebagai alternatif taktis dalam memperbaiki bencana dan bukan sebagai penyebab utama terjadinya bencana?
Menjawabi pertanyaan di atas, status ini ditulis sebagai salah satu bentuk respon intelektual terhadap gagalnya tata kelola pembangunan yang dilakukan di NTT sebagai sebab utama tidak adanya upaya pencegahan atau mitigasi bencana yang komprehensif.
Dalam konteks global, bencana alam dan pelbagai jenis bencana lain (mulai dari terorisme hingga pandemi Covid-19 sekarang) merupakan gambaran pergeseran cepat dari kapitalisme industrial kepada kapitalisme finansial.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, terdapat 5 (lima) argumen pokok yang perlu saya sampaikan di sini, antara lain:
Pertama, berbagai jenis bencana dapat secara langsung dikaitkan dengan apa yang dalam dunia kontemporer disebut dengan “skema pembangunan”.
Terorisme misalnya, suka atau tidak suka, merupakan konsekuensi logis dari pembangunan.
Hal yang sama, juga berlaku dalam praktik eksploitasi kolonial, ekspansi imperialistik, ancaman nuklir dan senjata pemusnah massal atau Weapons of Mass Destruction (WMD), pengasingan sosial, dan seterusnya.
Oleh karena itu, kita membutuhkan analisis ekonomi politik yang mendalam agar fenomena ini tidak dibajak lagi sekadar sebagai problem moralitas semata.
Kedua, menyambung poin pertama, bencana di NTT terjadi karena kegagalan pembangunan pendidikan dan politik. Tentang hal ini, sebuah ilustrasi menarik datang dari Kepulauan Nicobbar di Sri Lanka. Pada tahun 2004, tsunami besar memporak-porandakan kota itu. Manusia yang dianggap “beradab” mati seperti lalat dalam jumlah yang besar, persis ketika ratusan hewan di Taman Nasional Yola sama sekali tidak ada yang tewas.
Kembali ke NTT, meninggalnya 128 jiwa adalah contoh paling konkret dari buruknya pembangunan pendidikan yang terbaca melalui ambruknya pengetahuan warga negara tentang membangun rumah dari jarak tertentu dari bentaran kali, memprediksi intensitas dan durasi curah hujan yang menyebabkan banjir, dan rapuhnya ketahanan ekonomi yang membuat masyarakat tidak mampu membangun rumah yang kokoh.
Persis di situ, karakteristik bencana semacam ini menjadi lebih berbahaya karena kecerobohan kita sendiri. Artinya, kita membayar ongkos begitu mahal dalam hal nyawa manusia maupun kerusakan materi sekalipun kita tahu bahwa sebenarnya semua itu dapat dihindari jika kita bersikap hati-hati atau selektif memilih, di mana dan bagaimana kita tinggal dan hidup. Sebagai contoh, meskipun Bangladesh dan negara bagian Benggala Barat dan Orissa di India rawan badai tetapi manusia dengan sengaja memilih untuk tinggal di situ.
Menariknya, seperti NTT, mayoritas masyarakat yang rentan terkena bencana adalah kelompok warga negara yang miskin dan sebagian besar dari mereka tersebar secara merata di negara-negara “berkembang”. Artinya, pengentasan kemiskinan mesti menjadi mitigasi bencana yang paling mendesak untuk dilakukan.
Rendahnya kualitas pendidikan dan kemiskinan itu diperparah dengan tidak jelasnya kinerja birokrasi. Hal tersebut tergambar melalui argumen Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang menjelaskan bahwa siklon tropis seroja yang terjadi di NTT merupakan siklon ke-10 yang dideteksi oleh Tropical Siclon Warning Center Jakarta.
BACA JUGA : Ketua MPR RI Bamsoet Tegaskan Negara Butuh Haluan
Bayangkan!
Sudah 9 kali terjadi dan tak satu pun early warning diterapkan secara holistik!
Dengan kata lain, kerusakan bukan ditimbulkan oleh bencana alam melainkan bencana pembangunan pendidikan dan sistem birokrasi kita!
Sebaliknya, jika kita benar-benar beradab, rasional, ilmiah, dan objektif, harusnya kita mampu menyusun cara dan sarana teknik kohabitasi ramah alam. Rawan gempa di daerah misalnya, mesti memungkinkan kita membangun struktur hunian yang fleksibel dan ringan untuk menghindari bangunan runtuh dan korban yang banyak. Sebagai misal, di Bangladesh dan Florida, daerah yang sering dilanda angin topan justru dimanfaatkan untuk pertanian dan dengan bangunan yang tidak permanen.
Perspektif di atas tentu akan dibantah oleh ilmuwan rata-rata dan teknokrat miskin imajinasi di Indonesia. Namun, dengan bertolak dari argumen “pembangunan sebagai biang keladi bencana”, kita dibuat tidak berguna ketika berhadapan dengan bencana luar biasa seperti ancaman tabrakan asteroid atau meteorit.
Ketiga, human security. Ini kecenderungan yang terdapat dalam hampir semua cara berpikir manusia Indonesia pada umumnya. Konsep human security mendasarkan argumennya pada betapa tidak berdayanya manusia di hadapan ancaman ekologi.
Neoliberalisme dengan turunan planetarisme adalah salah satu bentuk eksperimentasinya. Paradigma planetarisme yang memandang ketidakamanan manusia, negara, dan masyarakat disebabkan oleh perubahan iklim, kerusakan lingkungan, dan perpindahan penduduk.
Cara pandang ini menghindari pembicaraan tentang perang dan konflik yang disebabkan oleh geopolitik dan ekonomi politik kapitalisme finansial (Djalong dan Hakim, 2021). Dengan kata lain, ketidakamanan manusia justru disebabkan oleh pembangunan yang dapat Anda lacak melalui agenda global Sustainable Development Goals (SDGs) yang memfasilitasi ekonomi bencana itu sendiri.
Bagaimana cara kerjanya?
Agen neoliberalisme dengan tentakelnya hingga ke level negara dan media massa mainstrim, bekerja secara sistematis dan halus hingga di hadapan kita mereka bersikap seolah-olah menjadi sang messias. Anda bisa lihat itu dalam berbagai jenis tindakan kuratif dari pemerintah pusat dan daerah dalam memberikan pelbagai jenis bantuan sosial dan ekonomi paska-bencana.
Sambil terus menerus mengglorifikasi “kebaikan pemerintah” dan absen melakukan pertanyaan kritis, kita justru abai terhadap persoalan paling mendasar bahwa bencana itu terjadi justru karena pembangunan tidak hadir di NTT. Atau, kalaupun hadir dalam bentuk pembangunan fisik, itu justru dilakukan dalam rangka menciptakan kerentanan sosial, politik, dan ekologis.
Keempat, bermain-main dengan fragmentasi. Politik penanganan bencana di NTT merupakan gambaran komprehensif paling cepat tentang betapa buruknya penanganan bencana di Indonesia mulai dari terorisme hingga covid-19.
Tidak mau belajar lebih banyak, para pemimpin kita absen menyadari bahwa bencana ini tidak hadir begitu saja tetapi justru berkaitan secara paradigmatik dengan dinamika internasional, regional, dan nasional.
Dengan kata lain, bencana ini hadir untuk mempertanyakan kembali hubungan kita dengan tubuh dan lingkungan sebagai objek eksperimentasi pertarungan ekonomi politik global.
Kelima, moralisasi bencana. Ini sajian penutup bagi makan malam penderitaan yang paling sempurna. Praktik moral ini dapat Anda saksikan melalui histeria massa yang menyambut kedatangan pemimpin negara tanpa pernah bersikap kritis melakukan protes dan mengajukan tuntutan keamanan dan kesejahteraan sebagai bagian dari haknya sebagai warga negara.
Dibahasakan secara berbeda, kita perlu menuntut negara bertanggung jawab atas tidak terealisasinya hak-hak politik kita sebagai warga negara terutama ketika berada dalam situasi batas semacam ini.
Apa saja hak itu? Ya, hak atas pendidikan yang layak dan berkualitas, hak atas informasi mitigasi bencana yang kredibel, hak atas penguasaan tanah agar tidak secara terpaksa bangun rumah di dekat kali, dan hak meminta pertanggungjawaban wakil kita di Pusat.
Mengapa semua narasi di atas justru tenggelam dalam dramaturgi politik seorang pemimpin negara yang menangis?
Oleh: Apolinarius Manek Usboko
Fakultas Filsafat UNWIRA KUPANG
(Alberto)