Oleh: Alberto Linbes Kuluantuan, Mahasiswa Semester VI Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP UNDANA
KUPANG — METROPAGINEWS.COM || Di tengah dominasi narasi pembangunan nasional yang masih condong ke barat Indonesia, secercah cahaya terang menyala dari timur. Cahaya itu berasal dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Nusa Tenggara Timur—sebuah institusi yang selama empat tahun terakhir melaju pesat di bawah kepemimpinan Prof. Dr. drh. Maxs Urias Ebenhaezar Sanam, M.Sc, sosok sederhana namun visioner yang kini menapaki ujung masa jabatannya sebagai Rektor periode 2021–2025.
Lahir di Kupang pada 8 Maret 1965, Prof. Maxs menapaki kehidupan dari titik yang jauh dari gemerlap. Masa kecilnya diisi dengan aktivitas membantu orang tua menjual pisang goreng di pagi buta. Dari situ tumbuh karakter yang menjadi fondasi kepemimpinannya: disiplin, kerja keras, dan kepedulian sosial. Siapa sangka, anak Timor yang dulu memerah susu sapi di Camplong itu, kini menorehkan prestasi yang mengguncang batas-batas geografis dan akademik.
Pendidikan formalnya dimulai dari SD GMIT Kuanino 1, kemudian SMPN 1 Kupang, dan berlanjut ke SMAN 6 Surakarta setelah terpilih sebagai delegasi siswa berprestasi dari SMAN 1 Kupang. Ia menempuh pendidikan dokter hewan di FKH UGM dan menyelesaikan pendidikan profesi pada 1989. Gelar magister diperoleh dari James Cook University, Australia, dengan predikat penerima Rod and Monica Campbell Prize (1997), dan gelar doktor dari almamaternya, FKH UGM, pada 2015.
Kariernya sebagai akademisi dimulai sejak 1990 dan terus merangkak naik: dari Kepala Lab Mikrobiologi dan Parasitologi (1998–2005), Kepala IRO Undana (2006–2010), Dekan FKH Undana (2013–2018), Wakil Rektor Bidang Akademik (2018–2021), hingga akhirnya terpilih sebagai Rektor dengan 74 suara pada pemilihan senat. Pelantikannya sebagai Rektor dilakukan oleh Sekjen Kemendikbudristek, Ir. Suharti, MA., Ph.D, pada 6 Desember 2021.
Tak sekadar melanjutkan, Prof. Maxs melakukan lompatan. Di bawah kepemimpinannya, Undana mencatat sejarah: Akreditasi “Unggul” dari BAN-PT pada 11 Februari 2025—sebuah pencapaian monumental yang menjadikan Undana sejajar dengan 145 perguruan tinggi terbaik Indonesia. Tak hanya itu, Undana sebelumnya hanya memiliki satu program studi dengan akreditasi unggul (Ilmu Peternakan). Kini bertambah menjadi 13 prodi. Selain itu, 4 prodi berhasil meraih akreditasi internasional dari ASIIN (Jerman), ditambah lagi 26 guru besar baru yang memperkuat daya saing akademik. Fasilitas pendukung juga ditingkatkan: Lab Bioscience terakreditasi KAN, UPT Perpustakaan meraih akreditasi “Baik,” serta mayoritas fakultas dan biro telah bersertifikasi ISO.
Visi Prof. Maxs jelas: menciptakan SDM unggul, agile learner berkarakter Pancasila, serta penguatan tridharma perguruan tinggi berbasis tata kelola prima dan daya saing global. Ia menekankan keunggulan komparatif kawasan lahan kering kepulauan dalam mendorong Undana menjadi poros akademik Asia Pasifik Timur.
Sebagai guru besar ke-40 Undana, Prof. Maxs menorehkan kontribusi signifikan dalam bidang kesehatan hewan dan zoonosis. Penelitiannya mencakup vaksinasi antraks pada domba, deteksi antibodi classical swine fever, prevalensi penyakit ternak, hingga identifikasi molekuler virus ASF. Ia juga aktif dalam riset multidisipliner seperti resistensi antibiotik pada hewan dan deteksi MDR E. coli.
Lebih dari 26 publikasi ilmiah telah ia hasilkan, termasuk tujuh yang terindeks Scopus dengan H-index yang kompetitif. Buku-bukunya, seperti “Mikrobiologi Hewan” dan “Penyakit African Swine Fever pada Ternak Babi,” yang menjadi referensi penting di kawasan timur Indonesia.
Ini bukan sekadar angka, tapi pengakuan nasional atas kerja keras kolektif, yang dipimpin oleh figur berintegritas tinggi. Kini, menjelang akhir masa jabatannya pada Desember 2025, Prof. Maxs bukan hanya meninggalkan jejak sebagai pemimpin yang membawa prestasi, tetapi juga warisan inspiratif. Ia membuktikan bahwa anak Timor, yang pernah memerah susu sapi di Camplong dan menjual pisang goreng di sudut jalan Kupang, bisa menembus batas-batas akademik global. Bahwa kesederhanaan bukan penghalang untuk unggul, dan bahwa pemimpin sejati lahir dari keberanian untuk bermimpi besar dan bekerja lebih keras dari siapa pun.
Di balik semua capaian ilmiahnya, Prof. Maxs tetap seorang humanis yang rendah hati. Ia beternak rusa di Lahan Konservasi (Laker) Undana dan gemar memberi makan sendiri. Ia rutin menanam pohon sebagai aksi kecil melawan pemanasan global, dan ikut memungut sampah plastik serta tak jarang terlihat bermain bulutangkis dan tenis meja.
Prof. Maxs adalah contoh bahwa intelektual sejati tak hanya hidup di menara gading. Ia turun ke lapangan, bersentuhan dengan peternak, memahami denyut kebutuhan masyarakat, dan menyulam ilmu pengetahuan menjadi kebijakan dan praktik yang menyentuh akar rumput.
Dalam narasi pembangunan, kita sering mendengar kata “tertinggal”. Namun figur seperti Prof. Maxs justru membalikkan diksi tersebut. Bahwa dari daerah yang kerap diabaikan, muncul pemimpin dengan visi global dan kaki yang berpijak kuat pada bumi. Ia tidak lahir dari fasilitas, tetapi dari perjuangan. Bukan dari privilege, tetapi dari prinsip.
Kisah Prof. Maxs Sanam adalah kisah tentang harapan. Bahwa anak-anak NTT yang hari ini bangun pagi untuk membantu orang tua mereka, bisa suatu saat berdiri di podium dunia akademik. Bahwa ilmu bukan monopoli kota besar, dan pemimpin besar bisa tumbuh dari pasar kecil—selama ada integritas, kerja keras, dan cinta akan tanah sendiri. Dan kini, di ujung masa jabatannya sebagai Rektor Undana, warisan Prof. Maxs bukan hanya akreditasi unggul, tetapi juga inspirasi abadi: bahwa mimpi dari timur tidak sekadar mungkin—tapi nyata.***
Komentar Klik di Sini