MALANG – METROPAGINEWS.COM || Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, kembali menyuarakan kekecewaan kolektif mereka. Meskipun berbagai regulasi nasional telah mengatur secara jelas ruang kewenangan desa untuk memperoleh pendapatan dari fasilitas publik di wilayahnya, praktik di lapangan justru menunjukkan sebaliknya: desa menjadi tuan rumah secara geografis, namun terus dimiskinkan secara ekonomis.
Regulasi Ada, Tetapi Desa Tetap Dimiskinkan oleh Tafsir Kewenangan
Tambakrejo Mempertanyakan “Hadirnya Negara” yang Justru Menghilangkan Hak Ekonomis Desa.
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, Permendagri No. 96/2017, Permendagri No. 22/2009, serta UU No. 23 Tahun 2014 Pasal 363 sebenarnya membuka lebar peluang kerja sama desa–pemerintah daerah, termasuk pembagian hasil pengelolaan pelabuhan, pasar desa, objek wisata, parkir, hingga tanah kas desa. Namun, pada Minggu, 26 Oktober 2025, dalam forum urun rembuk Balai Dusun Sendangbiru, warga justru mengeluhkan fenomena sebaliknya: fasilitas besar berdiri di atas tanah desa, namun nilai ekonominya “diangkut pergi”, menyisakan beban sosial–lingkungan kepada warga setempat.
Desa Menjadi Penonton di Tanah Sendiri
Warga menyoroti persoalan sampah pelabuhan yang menumpuk, keluar-masuknya warga luar tanpa pengaturan, hingga nihilnya kontribusi Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Pondokdadap kepada desa. Mereka mempertanyakan alasan kantor dinas provinsi dapat berdiri megah di wilayah Desa Tambakrejo, namun tidak satu rupiah pun mengalir kembali kepada desa sebagai bentuk kompensasi.

Kepala UPT PPP Pondokdadap, Budi Setyono, S.Pi., M.Agr., saat dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp, menegaskan bahwa kehadiran pelabuhan merupakan kewenangan penuh Pemerintah Provinsi Jawa Timur sesuai UU No. 23/2014. Budi juga menolak anggapan bahwa desa dapat serta-merta menarik PAD dari pelabuhan.
“Tuntutan desa untuk bisa memungut PAD dari pelabuhan harus ada dasar hukum kuat. Tidak bisa hanya berdasar kewilayahan,” tegasnya.
Pernyataan itu menambah panjang deretan pertanyaan publik: jika desa tak boleh memungut, lalu bagaimana prinsip subsidiarity yang dijanjikan UU Desa diwujudkan?
Kabupaten: “Hati-hati, Bisa Kena Pungli”
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Malang, Viktor Sembiring, menambahkan kebingungan birokratis yang selama ini membelit desa. Menurutnya, seluruh urusan pelabuhan berada di bawah kewenangan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur. Dengan kata lain, kabupaten pun “tidak punya tangan” untuk mengatur.
Terkait wacana pungutan 0,5 dari hasil lelang ikan untuk desa, Viktor mengingatkan keras:
“Kalau dasar hukumnya tidak jelas, itu masuk pasal pungli. Berbahaya secara hukum. Buat dulu PERDES kalau memang mau diberlakukan.”
Alih-alih mendapatkan solusi, desa justru dihadapkan pada tumpukan aturan dan saling lempar kewenangan antar lembaga. Di satu sisi desa dilarang menarik retribusi tanpa aturan formal, namun di sisi lain pemerintah provinsi juga tidak membuka ruang pembagian hasil secara adil.
Desa Terjepit Aturan, Warga Terjerat Dampaknya
Kepala Desa Tambakrejo mengakui bahwa hambatan koordinasi terkait pengelolaan rusun, sampah pelabuhan, dan kerja sama dengan PPP Pondokdadap hampir selalu berujung pada alasan “kewenangan provinsi.” Sementara itu, warga desa harus menanggung kerugian sosial–ekologis tanpa kompensasi yang layak.
“Kesulitannya ada pada kewenangan yang sudah diatur aturan di atasnya. Tapi ke depan kami akan koordinasikan semua pihak agar masyarakat desa juga merasakan manfaat ekonomi dari kehadiran pelabuhan,” ujarnya.
**Pertanyaan Publik yang Menggantung:
Mengapa Provinsi Tidak Mau Mendelegasikan Kewenangan?**
Di tengah derasnya kritik warga, muncul pertanyaan mendasar yang semakin menguat:
Apakah Pemerintah Provinsi Jawa Timur benar-benar tidak bisa mendelegasikan sebagian pengelolaan kepada desa melalui MoU?
Mulai dari bagi hasil, pengelolaan parkir, kebersihan, hingga pemanfaatan lahan pelabuhan?
Padahal, konstitusi melalui Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa semua kekayaan negara harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun realitas di Tambakrejo menunjukkan interpretasi yang jauh lebih sempit: kekayaan negara dimanfaatkan seluas-luasnya oleh birokrasi, sementara rakyat desa hanya menerima risiko dan residunya.
Regulasi Jelas, Tapi Desa Tetap Dipinggirkan
Kasus Tambakrejo kembali membuktikan bahwa persoalan terbesar bukan terletak pada absennya regulasi, melainkan pada tafsir kewenangan yang cenderung membatasi hak-hak desa. Desa memiliki legitimasi hukum, namun tidak diberi ruang aktualisasi. Desa menjadi pemilik geografis, namun bukan pemilik ekonomis.
Jika prinsip subsidiarity terus diabaikan, desa akan tetap menjadi penonton di tanahnya sendiri—bahkan ketika fasilitas negara berdiri tepat di halaman mereka. (Azz)


Komentar Klik di Sini