JAKARTA – METROPAGINEWS.COM || Reformasi Polri, sebuah janji besar yang mendesak, kini berada di persimpangan jalan.Jumat (28/11)
Bukan resistensi internal, melainkan ‘ketakutan politik’ Komisi Percepatan Reformasi Polri yang mengancam kelumpuhan. Di tengah krisis kepercayaan publik, Komisi ragu merekomendasikan penambahan anggaran operasional Polri.
Komisi Jadi ‘Tempat Buang Hajat’ Kritik
Komisi Percepatan Reformasi Polri, di bawah kepemimpinan Jimly Asshiddiqie, menjadi saksi bisu keluh kesah dan pembeberan ‘kebobrokan’ Polri. Aktivis HAM, LBH, Ormas, hingga pers memanfaatkan audiensi sebagai wadah kritik terhadap perilaku oknum Polri.
Namun, di tengah derasnya kecaman, perlu dilihat akar masalahnya. Mengapa institusi sepenting Polri begitu rentan terhadap ‘kebobrokan’?
Sorotan Gejala, Abaikan Akar Masalah
Polri menjadi objek penderita kritik publik atas pelanggaran HAM, arogansi, dan dugaan korupsi. Kritik ini valid, namun fokus pada oknum berpotensi mengabaikan sistem yang melingkupinya, yaitu keterabaian negara terhadap Polri.
Kemiskinan Struktural Biang Keladi
Fakta yang jarang diangkat adalah “kemiskinan struktural” yang melanda aparat kepolisian, terutama di tingkat operasional terbawah, yaitu Polsek.
Anggota Polri dibebani tugas berat, risiko tinggi, dan tuntutan moral tinggi, namun dengan kesejahteraan tidak proporsional. Gaji pas-pasan dapat menjadi celah bagi anggota mencari “penghasilan tambahan” di luar prosedur, menjelma menjadi pungli atau praktik koruptif.
Keterbatasan anggaran operasional memaksa anggota di lapangan mencari solusi pendanaan mandiri, menciptakan lingkaran setan antara kebutuhan operasional dan potensi konflik kepentingan.
Defisit Struktural: Polsek Nggak Mampu Bertugas
Realitas di lapangan jauh dari ideal. Rasio polisi per warga hanya 166 petugas per 100.000 penduduk (1:602), jauh di bawah standar minimal PBB (1:400). Indonesia kekurangan polisi secara masif.
Meskipun anggaran Polri triliunan rupiah, Polsek di tingkat kecamatan kerap menerima alokasi operasional yang minim. Pengakuan mantan pimpinan Polri tentang Polsek yang hanya mendapat Rp 200 juta per tahun—cukup untuk operasional empat bulan—menggambarkan krisis pendanaan akut.
Anggaran Minim = Pungli Sebagai Survival Kit
Minimnya dana ini pemicu utama penyimpangan. Ketika dana negara untuk operasional habis, personel Polsek dihadapkan pada dilema etika: menggunakan dana pribadi atau mencari “solusi alternatif” (Pungli) agar penugasan berjalan.
Tekanan operasional ini mengubah Pungli dari kejahatan menjadi mekanisme survival. Konsekuensinya, Laporan Pidana Ringan (Tipiring) dan pengaduan masyarakat sering diabaikan atau disertai permintaan biaya tak langsung.
Bagi masyarakat miskin, ini adalah penghalang akses terhadap keadilan. Negara gagal hadir di saat warga paling membutuhkan perlindungan. Lambatnya respons dan adanya tuntutan biaya membuat warga enggan melapor kembali, menciptakan dark figure kriminalitas dan meruntuhkan kredibilitas institusi.
Contoh kasus baru-baru ini, seorang anak kos di Bendungan Hilir (Benhil), Tanah Abang, Jakarta Pusat ramai diberitakan media, saat melapor malah diabaikan Polisi usai mendapatkan pelecehan seksual, lalu nekat melapor ke pemadam kebakaran (Damkar). Video petugas Damkar melabrak pelaku pelecehan seksual pun viral di media sosial dan diapresiasi oleh netizen.
Reformasi yang Gagal Menyentuh Anggaran
Reformasi Polri pasca-1998 berfokus pada aspek struktural, regulasi, dan SDM. Namun, reformasi anggaran dan kesejahteraan berjalan lambat atau diabaikan. Negara seolah membiarkan Polri berjuang dengan sumber daya minim, sambil menuntut kinerja dan integritas maksimal.
Ketika negara sengaja membiarkan institusi vital seperti Polri “miskin”, maka negara secara tidak langsung menciptakan lahan subur bagi perilaku menyimpang. Aparat yang tertekan secara ekonomi dan operasional akan lebih mudah terjerumus dalam praktik ‘kebobrokan’.
Rekomendasi Tegas: Anggaran Bersyarat Adalah Mandat, Bukan Reward
Anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri Jenderal Purn. Pol. Badrodin Haiti mengaku pernah menerima laporan ada satu Polsek yang hanya menerima anggaran 200 juta per tahun dan dengan tuntutan operasional yang tinggi ternyata anggaran tersebut hanya bisa menutupi 4 bulan operasional pelayanan Polsek.
Sisanya anggaran, kata Badrodin, dicari alternatif yang salah untuk menutupinya dengan memeras dan pungli. Ia pun mengaku usulan pengajuan anggaran untuk mengatasi persoalan ini boleh saja, tapi memang sangat sulit karena membutuhkan ketersediaan anggaran besar.
Komisi sudah seharusnya mengubah sudut pandangnya. Menahan anggaran esensial Polsek adalah tindakan kontraproduktif karena justru menghukum masyarakat dan melanggengkan praktik Pungli.
Anggaran adalah prasyarat minimum reformasi, bukan hadiah. Komisi harus berani mengajukan Paket Reformasi Terintegrasi dengan syarat yang ketat kepada Presiden. Alokasi dana tambahan harus ditekankan sebagai Kewajiban Negara untuk Reformasi Pelayanan Publik, yang bertujuan menjamin Laporan dan Penyidikan Tipiring berjalan Gratis dan Responsif.
Membangun Polisi Berintegritas, Memerlukan Keberpihakan Negara
Komisi Reformasi tidak hanya harus mendengarkan keluhan tentang oknum, tetapi juga harus mendorong negara untuk bertanggung jawab atas kondisi institusi. Jika kritik diibaratkan membersihkan kotoran, maka negara harus menyediakan sistem sanitasi yang layak, yaitu anggaran dan kesejahteraan yang memadai, agar kotoran itu tidak terus menumpuk.
Reformasi Polri sejati harus dimulai dari melepaskan Polri dari jerat kemiskinan struktural. Polisi yang berintegritas dan profesional hanya akan terwujud jika negara berhenti abai dan mulai berani berinvestasi secara signifikan pada gaji yang layak dan anggaran operasional yang mencukupi hingga ke tingkat Polsek.
Tanpa keberpihakan negara ini, Polisi hanya akan terus-menerus menjadi sasaran bagi kritik yang tak berujung, sementara akar masalahnya tetap tumbuh subur.
Sorotan yang Nyaman: Komisi yang Enggan Turun ke Akar Rumput
Ironisnya, Komisi yang dibiayai oleh negara untuk mempercepat reformasi ini justru tampak malas untuk turun langsung ke jantung persoalan di akar rumput. Komisi terlihat lebih nyaman dan pragmatis menerima masukan dari kaum elit, aktivis level nasional, dan lembaga formal di ruang-ruang ber-AC Jakarta.
Pendekatan ini menciptakan jarak antara Komisi dengan realitas pelayanan Polri di tingkat terendah. Tim ini cenderung berfokus pada analisis kebijakan makro dan kasus-kasus viral, ketimbang turun ke Polsek-Polsek terujung atau berdialog langsung dengan masyarakat terbawah yang merasakan langsung denyut nadi pelayanan Polri sehari-hari.
Akibatnya, Komisi hanya mendapatkan gambaran ‘kebobrokan’ di permukaan, berupa laporan dari mereka yang memiliki akses dan suara lantang.
Komisi terlihat gagal merasakan betapa minimnya anggaran operasional sebuah Polsek, betapa beratnya beban kerja seorang Bhabinkamtibmas, dan betapa tertekannya anggota kepolisian di lapangan akibat keterbatasan sumber daya.
Komisi hanya mendengar suara kebisingan, tetapi gagal menyentuh denyut nadi persoalan.
Belum lagi ditambah masalah di sektor lain di kepolisian. Seperti halnya korupsi sistemik di layanan sentral seperti SIM/STNK dan penegakan hukum berat.
Pungli SIM/STNK sama saja Barter Nyawa dengan Uang. Komisi harus melihat kenyataan di lapangan marak praktek Jasa kilat pengurusan SIM dan STNK makin memperparah praktik Pungli.
Dampak langsungnya? Pengurusan SIM memang menjadi sangat mudah, namun meloloskan calon pengemudi dan pengendara motor/mobil yang tidak kompeten itu sangat berbahaya.
Konsekuensinya, angka kecelakaan dan korban jiwa menjadi sangat tinggi di seluruh Indonesia. Pungli SIM bukan hanya korupsi, tapi kejahatan kemanusiaan yang diukur dengan nyawa di jalan raya.
Pada peghujung tahun 2024, Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian Republik Indonesia Inspektur Jenderal Polisi Aan Suhanan merilis data kecelakaan lalulintas, setidaknya 3 hingga 4 orang tewas karena kecelakaan setiap jamnya sepanjang tahun 2024. Sedikitnya 1.150.000 kecelakan terjadi dalam kurun waktu Januari-Desember 2024 dan menewaskan sekitar 27.000 jiwa.
Sementara itu tak kalah dahsyat, dalam kasus pemberantasan Narkoba, pasal pidana berat dan denda miliaran rupiah yang menjerat pelaku sering kali menjadi alat pemerasan yang dilakukan oleh oknum anggota Polri dan atasannya untuk membebaskan tersangka dari jerat pidana.
Hukum yang seharusnya keras justru diperjualbelikan demi memperkaya oknum. Padahal, di awal November ini, Badan Narkotika Nasional (BNN) telah mengungkapkan sekitar 50 orang di Indonesia meninggal setiap hari akibat narkoba atau mencapai 18 ribu orang per tahun, dengan rentang usia korban didominasi kelompok muda 14 hingga 25 tahun.
Jadi, melihat kondisi seperti diuraikan di atas, Reformasi sejati hanya akan terwujud ketika negara berani berinvestasi pada pelayanan publik yang bebas dari biaya dan cepat respons. Inilah saatnya Komisi Reformasi membuktikan keberaniannya untuk melayani kepentingan publik di atas citra politik.
Jangan sampai timbul sorotan dari anak jaman now – Gen Z yang bisa saja nyeletuk : “Ini tuh namanya mindset elite yang nggak nyambung sama realita. Mereka takut kena cibiran netizen daripada benerin masalah di lapangan. Kalau Komisi terus takut sama omongan orang Jakarta, ya sudah, Reformasi Polisi itu cuma sandiwara! Kita yang di bawah ini akan terus tercekik sama ketidakadilan dan Pungli. Tolonglah, Pak, Bu! Mikirin kita juga.
(Heintje Mandagie)


Komentar Klik di Sini