MALANG – METROPAGINEWS.COM || Alih-alih mendapat perlindungan hukum, sejumlah warga Desa Jatikerto, Kecamatan Kromengan, Kabupaten Malang justru harus menanggung “denda damai” senilai Rp50 juta setelah menangkap seorang pria yang diduga mencopet saat acara kesenian bantengan. Peristiwa ini menimbulkan pertanyaan besar: ke mana arah keadilan dalam penegakan hukum?
Awal Mula: Copet Tertangkap, Ponsel Ditemukan
Insiden berawal saat seorang warga kehilangan ponsel saat menonton kesenian tradisional. Ponsel tersebut akhirnya ditemukan terselip di balik pakaian seorang pria berinisial NY, yang kemudian diamankan warga.
“Saat itu ada Bhabinkamtibmas di lokasi. Ponsel dikembalikan ke pemilik, dan NY dilepaskan. Tapi setelahnya dia malah menantang warga lewat temannya untuk berduel,” ujar salah satu tokoh masyarakat setempat yang juga merupakan perangkat desa.
Tantangan duel itu memicu amarah sebagian warga. NY kemudian didatangi di lokasi yang disepakati, dan sempat dipukul satu kali hingga terjatuh.
Berujung Panggilan Polisi dan “Perdamaian” Berbiaya
Satu bulan setelah kejadian, 11 warga Jatikerto menerima surat panggilan dari Polsek Kromengan atas dugaan penganiayaan terhadap NY. Di antara mereka terdapat anak di bawah umur yang diwakili orang tuanya.
“Saya dampingi anak saya dari pagi sampai keesokan harinya. Kami baru bisa pulang setelah menyerahkan uang Rp50 juta,” ungkap salah satu orang tua.
Uang itu dikumpulkan secara patungan oleh 11 warga, sekitar Rp4,5 juta per orang. Beberapa harus menjual barang dan berutang demi memenuhi tuntutan yang diklaim sebagai syarat perdamaian.
“Saya sampai bilang ke NY, ‘uang segitu cukup buat beli makanan enak dan obat mahal, puas-puasinlah’,” lanjut warga dengan nada kecewa.
Polsek: Damai Kekeluargaan, Tapi Dokumen Tak Bisa Ditunjukkan
Pihak Polsek Kromengan membenarkan bahwa kasus diselesaikan secara kekeluargaan. Namun saat diminta menunjukkan dokumen surat pernyataan damai yang memuat rincian uang Rp50 juta, petugas menolak dengan alasan dokumen sudah tergabung dalam bundel yang tidak bisa dibuka.
Banyak Kejanggalan, Warga Pertanyakan Proses Hukum
Hasil penelusuran di lapangan menemukan sejumlah kejanggalan mendasar dalam penanganan kasus ini:
Mengapa NY yang diduga mencopet tidak diproses hukum secara resmi?
Mengapa justru warga yang menangkap pelaku harus membayar “denda damai”?
Siapa sebenarnya NY, dan mengapa posisi hukumnya seolah lebih kuat dari warga?
Peristiwa ini pun menyulut kritik tajam dari masyarakat dan pengamat hukum, karena berpotensi mencederai prinsip keadilan hukum di tengah masyarakat.
Desakan Investigasi: Propam dan Instansi Pengawas Diminta Turun Tangan
Sejumlah tokoh masyarakat dan aktivis mulai mendorong agar Propam Polri dan lembaga pengawas lainnya turun tangan menyelidiki dugaan ketimpangan dan potensi pelanggaran etik dalam penanganan kasus ini.
“Ini bukan lagi soal copet atau duel, tapi soal prinsip. Jika hukum justru merugikan warga yang membela diri dan lingkungannya, maka negara telah gagal melindungi rakyatnya,” ujar seorang warga yang ikut mendampingi para keluarga korban.
Refleksi: Ketika Hukum Tidak Berdiri Netral
Kasus Jatikerto menyisakan ironi: warga yang berinisiatif menjaga keamanan lingkungan malah menanggung kerugian finansial besar karena “perdamaian” yang belum tentu mereka pahami sepenuhnya. Jika aparat bertindak sesuai prosedur sejak awal, mungkin tak perlu ada yang dirugikan secara sepihak.
Pertanyaan kuncinya: Apakah keadilan masih berpihak pada rakyat biasa?
Reporter : AzZ
Komentar Klik di Sini