OPINI – METROPAGINEWS.COM || Indonesia merupakan negara demokrasi yang pemegang kekuasaan tertinggi ada ditangan rakyat. Demokrasi sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu demos dan krotos atau kratein. Kata demos dapat diartikan sebagai “rakyat” dan kratos atau kratein yang berarti “pemerintah”. Dengan demikian secara leksikal demokrasi dapat diartikan sebagai “pemerintahan dari rakyat. Mochamad Parmudi, M.Si.( 2014: 43). Tujuan utama dari demokrasi sebenarnya untuk melawan konsep pemerintahan yang monarki atau yang dipimpin oleh satu orang (tunggal). Demokrasi sebenarnya pemerintah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Dalam berdemokrasi rakyat memiliki hak yang tinggi, untuk menyampaikan aspirasi, dan untuk berekspresi, tetapi realitas yang rentan terjadi sekarang ini bahwa negara kehilangan panggung aspirasi rakyat dalam ranah demokrasi. Hilangnya panggung aspirasi rakyat dalam ranah demokrasi merupakan tanda bahwa demokrasi sedang ada dalam kondisi yang bahaya atau terkeroposnya nilai-nilai (values) demokrasi, yang pada hakikatnya demokrasi adalah tempat panyalur segala aspirasi rakyat.
Sebagai bangsa yang berdemokratis, negara sudah membuat regulasi (aturan) untuk menyampaikan pendapat di muka umum dan hal ini yang dijamin dan dilindungi dalam UUD pada pasal 28 UUD 1945 tentang “Hak Asasi Manusia” dan UU No 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Hal ini jelas bahwa rakyat mempunyai legalitas hukum yang kuat untuk melakukan gerakan menyampaikan aspirasi dengan berbagai keresahannya kepada pemangku kepentingan pemerintah. Yosi Yusandra (2021:3). Aspirasi merupakan segala bentuk kritikan, masukan, dan harapan atau ekspetasi dari rakyat terhadap pemerintah ataupun lembaga terkait yang sedang menjalankan kekuasaannya.
Ada begitu banyak cara dari rakyat untuk menyampaikan aspirasi kepada para pemerintah ataupun kepada para elit politik, ada yang menyampaikan melalui media sosial, menyampaikan secara langsung (face to face) dan ada yang menggunakan pihak ketiga. Pihak ketiga di sini adalah para elit politik yang merupakan orang yang dipilih oleh rakyat sendiri untuk duduk di bangku kepemerintahan yang pada dasarnya mereka dipilih untuk menjadi penyalur aspirasi rakyat.
Mereka menjadi jembatan untuk menyampaikan segala aspirasi dan harapan dari masyarakat untuk menyejahterakan rakyat. Namun semuanya aspirasi itu tidak di jalankan dan bahkan diabaikan, Yang di mana para pemerintah dan kaum elit politik lebih mementingkan kepentingan sendiri (egoisme) dari pada kepentingan rakyat, sehingga dalam demokrasi rakyat dijadikan hamba oleh kaum elit politik dan para pemerintah, dan juga rakyat di jadikan sebagai pion untuk menaikkan rating mereka dalam memegang tabut kekuasaan.
Ada begitu banyak praktik politik pada masa sekarang dan kehadiran partai politik yang menjadikan politik sebagai panggung untuk melakukan persaingan yang tidak sehat, seperti praktik politik uang (money politik), politik identitas, melakukan kampanye yang dalam kampanye mengeluarkan pernyataan berupa perjanjian palsu kepada rakyat, dan praktik-praktik lainnya yang menggambarkan kaum elit politik sedang mementaskan praktik yang tidak benar.
Sehingga tidak heran kalau sekarang orang selalu memberi asumsi bahwa demokrasi sekarang sedang dalam keterpurukan atau sedang dalam kondisi yang buruk, karena hal ini jelas bahwa bukan tidak mungkin praktik-praktik dari kaum elit politik yang berjuang demi kedudukkannya dan kepentingan sudah menggambarkan demokrasi sedang mengalami krisis esensial sebagai penyalur aspirasi rakyat dan juga praktik-praktik seperti ini yang menggambarkan negara Indonesia sedang mengalami krisis moralitas dan krisis kepemimpinan. Apalagi dengan banyaknya partai politik pada masa sekarang sehingga para kader politik atau kaum elit politik berjuang untuk mempertahankan kedudukan mereka dalam ranah partai politik yang mereka geluti dan juga berjuang untuk menaikkan kedudukan partai mereka dari sekian banyaknya partai politik.
Yang sebenaranya Ketika ditilik dari hakikat partai politik bahwa partai politik adalah sebuah organisasi yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara, melalui pemilihan umum. Perannya sebagai penyalur aspirasi dari rakyatlah yang membuat partai politik berbeda dengan oraganisasi lainnya. Perbedaan kunci antara partai politik, kelompok kepentingan (interest groups), dan masyarakat madani (civil society), ialah bahwa partai politik memiliki cakupan yang lebih luas, berusaha untuk merangkul kepentingan masyarakat secara lebih umum, dan memiliki peran sentral dalam proses politik. Umi Zuhriyah (tirto. Id).
Secara leksikal, kader politik mengacu pada dua pegertian. 1) perwira atau bintara dalam kententaraan. 2) orang yang diharapkan memegang peran penting dalam pemerintahan, partai, dan lain sebagainya. (KBBI) sementara Cadre (Ing) berarti (a) rangka, kerangka, dan (b) pendirian yang tetap atau permanen dari suatu resimen; kelompok kecil dari orang-orang penting. Yakob Dere Beong (2019: 101). Melihat dari makna di atas, tampak bahwa kader merujuk pada orang yang berperan penting dalam partai, pemerintahan, dan sebagainya. Penting karena perannya sebagai mediator antara massa dengan partai dan penguasa, penting, lantaran kaderlah orang yang bakal memegang peran dalam politik dan pemerintahan.
BACA JUGA : Kasus Perampokan di Kedungreja Disidangkan, Tak Ada Saksi yang Meringankan
Namun demikian ketika dilihat dari realitas yang terjadi pada masa sekarang bahwa dalam ranah politik para elit politik (kader politik) justru memanfaatkan partai politik sebagai ajang untuk bertempur dalam merebut tabut kekuasaan pemerintah dan kedudukan mereka dalam partai politik yang mereka geluti. Sehingga rentan terjadi para elit politik (kader politik) mengahalalkan segala cara untuk bisa memperoleh tabut kekuasaan dan mempertahankan eksistensi mereka dalam ranah partai politik dengan menggeser esensial atau hakikat dari partai politik itu sendiri. Yang ketika dilirik dari konsepnya bahwa partai politik merupakan sebuah organisasi yang penekanannya merujuk pada sebagai media untuk menyalur aspirasi rakyat.
Namun aspirasi itu justru hanya menjadi alas kaki mereka. Contoh konkrit dari aspirasi yang tidak di jalankan seperti tidak berjalannya pembangunan infrastruktur jalan raya di daerah-daerah yang bisa di katakan kurang maju (daerah yang kolot), aspirasi untuk membuka sekolah yang merupakan tempat untuk membentuk kepribadian seseorang dan tempat untuk menciptakan manusia yang berintelektual dan bermartabat bagi bangsa dan negara, aspirasi untuk membuat sebuah kampung menjadi kampung yang terang atau hadirnya PLN dan aspirasi-aspirasi lainya yang bertujuan untuk menyejahterakan rakyat.
Di kutip dari JAKARTA, KOMPAS.com – Jajak pendapat Litbang Kompas 4-6 Oktober 2022 menunjukan publik belum merasa aspirasinya didengarkan oleh DPR. Berdasarkan jajak pendapat tersebut sebanyak 47 persen responden menyatakan DPR masih kurang mendengarkan aspirasi masyarakat. Lalu 31,7 persen responden mengatakan DPR belum mendengarkan aspirasi. “Mayoritas responden (78,7 persen) menilai DPR belum memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat,” papar Peneliti Litbang Kompas Arita Nugraheni dikutip dari Harian Kompas, Selasa (14/11/2023). DPR merupakan kaum elit politik yang dipilih oleh rakyat yang bertujuan untuk menyalur aspirasi rakyat, namun sungguh kontras dengan realitas yang terjadi yang di mana yang sudah tercantum dalam data yang sudah di paparkan pada kalimat di atas.
Sehingga tidak heran jika asumsi dari masyarakat yang menyatakan bahwa demokrasi sedang dalam kondisi yang mengambang dan tidak teratur serta terpola, semua regulasi terkait demokrasi sudah mulai kendur dan sudah tidak efektif lagi untuk melayani rakyat. Kaum elit politik sedang mempertaruhkan ambisi untuk bisa selalu duduk di bangku yang mereka dapatkan, kaum elit politik selalu berjuang untuk kepentingan pribadi. Yang kalau ditilik kembali bahwa aspirasi yang merupakan sebuh harapan besar dari rakyat untuk menyejahterakan rakyat dan yang menjadikan mediator untuk menghantar harapan ini adalah para elit politik atau yang sebut wakil rakyat seperti DPR dan para elit politik lainnya.
Mereka memiliki peran yang penting untuk menyesejahtrakan rakyat. Namun sungguh miris semua konsep ini menjadi konsep yang kontras dengan realitas yang terjadi sekarang, yang dimana kaum elit politik menjadikan aspirasi itu untuk memenangkan mereka, disaat kampanye mereka menyampaikan bahwa nanti apa saja yang kamu minta akanku laksanakan, bahkan dalam menyampaikan itu mereka berapit-apit dalam menyusun kata dan teriak dari panggung dengan melontarkan Aku akan menjadi jembatan kamu dalam menyejahterakan rakyat.
Namun ketika mereka menang atau duduk di kursi yang mereka perjuangkan semua aspirasi yang disampaikan atau harapan yang disampaikan itu tidak di jalankan mereka malah mengurus kepentingan mereka untuk menaikkan status mereka dalam ranah kepemerintahan atau dalam ranah yang mereka duduk. Realitas seperti ini menjadi bahan pembicaraan rakyat pada masa sekarang, yang di mana rakyat hanya bisa mengeluh dan menggerutu melihat praktik-praktik dari para elit politik ketika mereka duduk di kursi yang mereka kejar mati-matian dengan menghalalkan segala cara.
Sehingga dalam hal ini Penulis memberikan asumsi bahwa sesungguhnya kader politik adalah pion dari partai politik karena kerja meraka itu berada dalam genggaman dari otoritas ketua partai politik.
Penulis juga dalam hal ini memberikan statemen bahwa sesungguhnya ketika di lihat dari realitas yang sering terjadi pada masa sekarang bahwa negara Indonesia yang merupakan negara demokrasi itu ada pada genggaman partai politik. Mengapa demikian? Karena demokrasi pada masa sekarang itu di kontrol oleh kaum elit politik dan partai politik, orang bilang siapa yang memiliki banyak uang ia akan berhasil untuk mengusai negara ini dari sabang sampai maroeke, dan siapa suara terbanyak ia akan menang.
Sehingga jelas adanya kalau eksistensi dari demokrasi pada masa sekarang itu ada di tanggan para elit politik yang memiliki uang banyak dan suara terbanyak, sehingga esensi dari demokrasi yang sebenarnya kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat itu sudah tegerus dan sekarang malah kebalikan, demokrasi pada masa sekarang sedang mengalami revolusi konsep yaitu kekuasaan tertinggi ada di tanggan kaum elit politik dan pemerintah bukan di tangan rakyat.
Oleh : Yosef Valdo Leso
Siswa SMAK Seminari St. Yohanes Paulus II, Labuan Bajo