Opini – metropaginews.com || Kasus stunting pada anak Indonesia di bawah usia lima tahun menjadi isu nasional. Hal ini disebabkan prevalensi stunting pada anak Indonesia masih cukup tinggi dibandingkan dengan negara-negara Asia tenggara lainnya, di tingkat nasional sekitar 24,4%.
Akibat dari stunting pada anak dapat memberikan dampak jangka pendek dan jangka panjang, termasuk peningkatan morbiditas dan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak.
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengidentifikasi permasalahan saat ini dan menyusun prediktor yang telah dikaitkan dengan stunting di Indonesia dan di mana kesenjangan data masih ada.
Pencarian literatur secara sistematis antara 2010 dan 2022 dilakukan menggunakan PubMed, Google Scholar, Scopus, EBSCO, dan Clinical Key.
Penelusuran literature dilakukan dengan menggunakan kata kunci: stunting, determinan, balita, faktor, Indonesia.
Makalah dimasukkan dalam ulasan ini jika mereka mengidentifikasi hubungan antara pengerdilan anak dan paparan faktor penentu.
Masa keemasan masa kanak-kanak merupakan masa penting dalam pertumbuhan karena pada masa ini pertumbuhan dasar anak akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya (UNICEF., 2019).
Salah satu masalah gizi yang sering dihadapi anak balita adalah stunting yang berdampak buruk terhadap kualitas hidup anak dalam mencapai pertumbuhan yang optimal sesuai dengan potensi genetiknya (WHO., 2010).
Stunting pada anak masih menjadi masalah kesehatan yang serius secara global, terutama di negara berpenghasilan rendah dan negara berkembang (UNICEF., 2020; WHO., 2020). Diperkirakan sekitar 155 juta anak balita mengalami stunting secara global, di antaranya 36% berada di negara-negara Afrika dan 27% di negara-negara Asia (UNICEF., 2020).
Stunting pada anak di bawah usia lima tahun menunjukkan pertumbuhan linear yang buruk selama periode kritis dan didiagnosis sebagai tinggi badan untuk usia kurang dari 2 standar deviasi dari median standar pertumbuhan anak Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) (WHO., 2018).
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki prevalensi stunting yang tinggi, dari 88 negara di dunia, dan Indonesia termasuk dalam lima besar kasus stunting (UNICEF., 2019). Stunting masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Sekitar 37,8% anak Indonesia dilaporkan mengalami stunting pada tahun 2015, sedangkan pada tahun 2021 prevalensi stunting pada anak menurun hingga mencapai 24,4% (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Nasional., 2021), angka tersebut masih di atas batas toleransi maksimal yang ditetapkan WHO yaitu 20 %.
Meskipun di Indonesia telah terjadi penurunan prevalensi stunting dengan rata-rata penurunan tahunan sebesar 7,3% selama tahun 2013 hingga 2021, kemajuannya masih cukup rendah dibandingkan dengan standar WHO (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Nasional., 2021).
kematian seperti komplikasi yang mengancam jiwa selama persalinan, peningkatan angka kematian bayi, penurunan kinerja dan perkembangan kognitif, peningkatan risiko infeksi, perkembangan psikomotor yang buruk, tertunda, kinerja sekolah yang lebih rendah, kecerdasan intelektual (IQ) yang buruk, munculnya penyakit kronis, penurunan produksi kapasitas di masa dewasa, dengan kehilangan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial negara (Strewart et al., 2019;).
World Health Organization memiliki Global Nutrition Targets untuk menurunkan angka stunting anak balita sebesar 40% pada tahun 2025 dan menjadi indikator kunci dalam Sustainable Development Goal of Zero Hunger yang kedua (WHO., 2012).
Waktu terpenting untuk memenuhi kebutuhan gizi anak adalah pada 1.000 hari pertama yaitu sejak pembuahan hingga anak berusia 2 tahun (Black et al., 2013). Selama 1.000 hari pertama, anak membutuhkan nutrisi yang cukup untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak (Black et al., 2013; WHO., 2012). Setelah usia dua tahun laju pertumbuhan melambat, dan anak dianggap kerdil. Literatur yang ada mencatat bahwa pengerdilan hasil dari interaksi kompleks dari sejumlah faktor penentu seperti rumah tangga dan faktor keluarga: gizi buruk selama pra-konsepsi, prenatal dan menyusui, perawakan ibu pendek, infeksi, tingkat pertumbuhan intrauterin (IUGR) dan kelahiran prematur ; pemberian makanan pendamping ASI yang tidak memadai, pemberian ASI, air dan sanitasi, pengaruh sosial ekonomi dan budaya sebagaimana tertuang dalam kerangka konseptual stunting oleh World Health Organization yang menyebabkan pertumbuhan terhambat (Stewart et al., 2019).
Selama satu dekade terakhir di Indonesia, banyak mengalami perubahan dalam prevalensi nasional stunting anak seperti yang disebutkan sebelumnya. Angka stunting di Nusa Tenggara Timur diklaim terus menurun. Prevelensi stunting di NTT pada tahun 2013 mencapai 51,7 persen, tahun 2018 turun jadi 42,6 persen, tahun 2019 turun jadi 27,67 persen, tahun 2020 turun ke 24,2 persen dan 2021 turun jadi 20,09 persen.
Data yang dihimpun dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menjelaskan sebaran angka stunting di Nusa Tenggara Timur hingga tahun 2021. Hal ini menunjukkan telah terjadi penurunan stunting di indonesia yang semakin tahun semakin membaik.
Menurut kerangka kerja WHO di bawah praktik menyusui yang tidak optimal, termasuk inisiasi menyusui yang tertunda, pemberian ASI yang tidak eksklusif, dan penghentian menyusui dini.
ASI dikenal sebagai makanan penting untuk bayi selama enam bulan pertama kehidupan. Organisasi Kesehatan Dunia dan Kementerian Kesehatan RI merekomendasikan semua bayi harus diberikan ASI eksklusif secara penuh. Berdasarkan kerangka kerja WHO di bawah praktik menyusui yang tidak optimal, termasuk inisiasi menyusui yang tertunda, pemberian ASI yang tidak eksklusif, dan penghentian menyusui dini.
Bukti saat ini di Indonesia terutama sejalan dengan kesamaan faktor-faktor terdekat yang ditemukan dalam berbagai literatur seperti berat badan lahir rendah, kelahiran prematur, perawakan pendek orang tua, pendidikan orang tua, ukuran keluarga, infeksi, dan menyusui yang secara signifikan terkait dengan pengerdilan anak. Tidak semua faktor risiko terdekat yang diidentifikasi dalam kerangka WHO telah diperiksa untuk prevalensi stunting di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan studi di masa depan untuk mengatasi kesenjangan pengetahuan ini di Indonesia. Temuan menunjukkan bahwa perlunya pengembangan promosi, pencegahan dan intervensi kesehatan terpadu untuk mengurangi stunting di Indonesia. Intergatif pencegahan dan intervensi stunting harus menggunakan pendekatan multi sektoral yang melibatkan profesional perawatan kesehatan, keluarga, pemerintah dan masyarakat. Semoga di masa yang akan datang angka stunting di Indonesia dapat mengikuti batas maksimal yang disarankan WHO yaitu kurang dari 20 %.
Penulis : Muhammad Yusuf, S.Sos ., M.M
Dosen STIA Bagasasi Bandung