KUPANG — METROPAGINEWS.COM || Fakultas Sains dan Teknik (FST) Universitas Nusa Cendana (Undana) menggelar diskusi publik bertajuk “Pengembangan Geothermal di Pulau Flores: Peluang, Tantangan, dan Strategi Berkelanjutan” pada Kamis (4/9/2025) di Aula Rektorat Undana.
Kegiatan ini menghadirkan akademisi, praktisi, hingga pemangku kepentingan untuk membahas secara mendalam potensi besar energi panas bumi (geothermal) di Pulau Flores.
Pulau Flores dikenal sebagai salah satu daerah dengan cadangan panas bumi terbesar di Indonesia. Dengan potensi energi mencapai 820 megawatt, Flores bahkan telah ditetapkan sebagai Pulau Panas Bumi melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 2268 K/30/MPM/2017.
Saat ini, kapasitas pembangkit listrik tenaga panas bumi yang beroperasi baru mencapai 18 MW, masing-masing 10 MW dari PLTP Ulumbu, Manggarai, dan 8 MW dari PLTP Mataloko, Ende.
Dalam sambutannya, Rektor Undana Prof. Maxs Sanam, menegaskan bahwa kegiatan ini menjadi salah satu bentuk nyata Undana sebagai perguruan tinggi unggul dan berdampak. Ia menekankan bahwa Undana tidak hanya berperan dalam pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi juga harus menjadi agen perubahan yang memberikan solusi atas persoalan masyarakat, khususnya di NTT.
“Undana baru saja merayakan Dies Natalis ke-63. Dalam semangat itu, kita ingin menunjukkan Undana sebagai perguruan tinggi yang berdampak nyata. Diskusi publik hari ini merupakan perwujudan dari komitmen tersebut, yaitu menghadirkan kajian kritis dan produktif untuk menjawab tantangan energi di NTT,” ujar Prof. Maxs.
Menurutnya, Flores memiliki cadangan panas bumi yang termasuk terbesar di Indonesia dan diyakini mampu mendukung transisi energi bersih. Jika dikelola dengan baik, geothermal dapat menjadi jawaban atas kebutuhan energi nasional, membuka pertumbuhan ekonomi baru, sekaligus mengurangi ketergantungan pada energi fosil.
Namun, Prof. Maxs juga mengingatkan bahwa pengembangan geothermal tidak lepas dari tantangan.
“Ada kekhawatiran masyarakat terhadap dampak lingkungan, perdebatan soal keberlanjutan ekosistem, serta tarik-menarik kepentingan antara investasi, tata kelola, dan kearifan lokal. Karena itu, forum seperti ini penting untuk mempertemukan berbagai pandangan,” jelasnya.
Lebih jauh, ia menekankan bahwa universitas memiliki tanggung jawab moral dan intelektual untuk memastikan pembangunan energi di NTT tidak hanya menjawab kebutuhan nasional, tetapi juga menjaga kelestarian lingkungan, menghargai masyarakat adat, dan membawa kesejahteraan bagi warga lokal.
“Kita ingin diskusi ini tidak berhenti pada wacana, tetapi melahirkan rekomendasi dan peta jalan bersama. Prinsip keadilan dan partisipasi masyarakat harus menjadi landasan dalam setiap eksplorasi,” jelasnya.
Wakil Gubernur NTT, Johni Asadoma, menekankan pentingnya membangun sinergi antara masyarakat adat, akademisi, pemerintah, dan mahasiswa dalam mengembangkan energi panas bumi.
“Aspek efisiensi ekonomi, kestabilan pasokan, dan kebersihan lingkungan membuat geothermal unggul dibandingkan sumber energi terbarukan lain seperti tenaga air, angin, maupun surya. Pemanfaatannya adalah solusi strategis untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil yang dalam 30–50 tahun ke depan diperkirakan habis,” ungkap Johni.
Ia juga menyoroti tren global, di mana masyarakat internasional semakin keras menuntut penghapusan energi fosil karena ancaman serius terhadap lingkungan.
“Kita tidak boleh ketinggalan. Pemanfaatan geothermal di Flores bisa menjadi kunci mencapai target Net Zero Emission Indonesia,” tegasnya.
Dekan Fakultas Sains dan Teknik, Prof. Philiphi de Rozari, menambahkan bahwa potensi panas bumi Flores terbentang hampir di seluruh wilayah daratan, dari Labuan Bajo hingga Larantuka, bahkan sampai ke Alor.
“Pulau Flores adalah salah satu lumbung energi geothermal terbesar di Indonesia. Jika dikelola dengan baik, energi ini bisa menjawab kebutuhan nasional sekaligus mendorong pembangunan daerah,” jelasnya.
Namun, Prof. Philiphi mengingatkan bahwa peluang selalu hadir bersama tantangan. Pengembangan geothermal tidak hanya menyangkut aspek teknologi, tetapi juga sosial, budaya, dan lingkungan.
“Di satu sisi masyarakat berharap pembangunan membawa manfaat ekonomi, membuka lapangan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan. Namun di sisi lain ada kekhawatiran tentang dampak lingkungan, potensi konflik lahan, serta bagaimana menjaga harmoni dengan kearifan lokal,” ujar Philiphi.
Dalam momentum usia ke-63 tahun Universitas Nusa Cendana, FST menegaskan komitmennya untuk terus menghasilkan karya unggul melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
(Alberto.L)
Komentar Klik di Sini