OPINI – METROPAGINEWS.COM || Beberapa waktu yang lalu, saya mengikuti seminar virtual yang diadakan oleh Flores Writters Festival (FWF-Maumere) yang akan dibuka secara resmi pada malam ini di Seminari Tinggi Ledalero. FWF-Maumere mendatangkan penulis-penulis hebat, musisi-musisi hebat, dan kurator serta sutradara film yang handal. Dalam tema kebudayaan, semuanya bergerak dalam satu identitas, terutama dalam memproduksi kebudayaan subkultur Flores, terlebih khusus Maumere.
Apa yang saya pelajari bahwa munculnya wacana subkultur ini adalah antitesis dari kebudayaan dominan Barat, yang melalui sistem kapitalisme mutakhir, telah menggiring manusia pada krisis identitas kebudayaanya sendiri. Diskusi yang saya ikuti tadi membahas soal Artifisial Intellegece (AI) dan Proses Penciptaan Karya yang Kreatif. Pertanyaan pokok diskusi adalah apakah AI dapat menggantikan manusia dalam proses pembuatan karya sastra.
Pelbagai jawaban diberikan oleh empat presenter, yang bagi saya belum cukup mendalam, kecuali presenter Afrizal Malna, salah satu sastrawan dan penyair besar zaman ini. Dari semua jawaban yang diberikan, kiranya dapat dirumuskan sebagai berikut: AI tidak mungkin menggantikan proses kerja kreatif kepenulisan sebuah karya sastra karena AI tidak memiliki kecerdasan emosional seperti dalam diri manusia, yang mempengaruhi kepenulisan dan kedalaman makna sebuah karya sastra.
Tetapi yang menjadi pertanyaan saya adalah sebagai berikut. Sebagaimana yang telah disampaikan Afrizal Malna bahwa satu-satunya ruangan yang tidak dapat disentuh oleh AI adalah “ruangan perasaan” atau “ruangan emosional”. Bagi saya ini tidak mungkin, apabila kita melihat secara lebih jeli bagaimana film “Ex Machina” menciptakan kecerdasan emosional buatan. Itu yang Pertama.
Dan yang kedua, beberapa waktu lalu saya membaca sebuah berita di Kompas.com, 8 Juli 2019. Kompas.com hari itu memberitakan peluncuran sebuah chip “Brain Talker” yang dibuat atas kerja sama Tjiandi University dan China Electronics Corparation. Chip itu adalah chip pertama di dunia yang dapat membaca pikiran manusia untuk kemudian dimasukan ke dalam sebuah komputer yang bernama Brain Computer Interfaces (BCI). Masih di dalam berita tersebut, seorang ilmuwan teknologi, Ray Kurzweil, mengatakan bahwa ada kemungkinan chip itu dapat mengunggah otak manusia untuk dipakai di dalam teknologi dan AI, dalam hal ini (Saya tambahkan sendiri) adalah robot “Ex Machine” seperti di dalam film.
Memang, sebelum menonton film tersebut, kita pastinya berpikir bahwa AI tidak memiliki perasaan sama sekali. Tetapi di dalam film itu, “Ex Machina”, bahkan dapat mengekspresikan kesedihan dan mimik wajah yang gundah sebagai respon sharing pengalaman manusia yang mengharukan.
Saya mau menunjukkan bahwa bagi ilmuwan, tidak ada kata mustahil dalam proses penciptaan AI terutama membongkar pernyataan kita tentang ketiadaan emosi seperti yang ada pada diri manusia. Perlu digarisbawahi bahwa judul “Ex Machina” bukanlah sebuah pernyataan yang lengkap. Yang lengkapnya adalah “Deus Ex Machina” atau “Tuhan keluar dari mesin”. Kita sudah melihat bahwa Kecerdasan Emosional buatan sudah terbukti ada.
Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan saya, bagaimana para presenter, sebagai penulis, kurator, sutradara, mengantisipasi penciptaan AI di masa mendatang apabila pencangkokan otak dalam sebuah chip tadi dimasukkan ke dalam AI yang sangat tentu berpengaruh besar terhadap pencipataan sastrawi. Saya perlu batasi, bahwa karya sastra yang saya maksudnya bukanlah puisi, teks drama, cerpen, atau tulisan lain yang notabene melibatkan perasaan secara dominan dalam proses kreatifnya.
Saya membatasi hanya pada karya sastra yang berciri intelektual, dalam hal ini adalah esai-esai sastra teoretis. Apabila pencangkokan otak itu sudah selesai (dan bukan hanya satu otak, tetapi juga otak para pakar kebudayaan sastra dunia), tentunya para presenter akan menghadapi situasi yang sangat sulit apabila berhadapan dengan sebuah esai sastra yang dicipatakan oleh AI berdasar pada kemampuan pelbagai otak para pakar tentang suatu bidang yang ingin ditulis. Bagaimana kalian mengantisipasi hal itu?
Sekalipun kita bersembunyi dalam fakta bahwa ruang perasaan sebagai medium sentral kedalaman makna sebuah karya sastra (puisi, cerpen, dll) yang ditulis, di sisi lain, kita juga tidak bisa mengelak bahwa karya sastra itu juga merupakan kerja intelektual kebudayaan yang sepenuhnya mengandalkan “brain”.*