CILACAP – METROPAGINEWS.COM || Dalam sepekan ke depan, warga Jalan Ciputat RT 14 RW 05, Dusun Ciwulu, Desa Widarapayung Kulon, Kecamatan Binangun, Kabupaten Cilacap, tak akan tenang tidurnya. Pasalnya, di lahan seluas 176 ubin (2.000 meter persegi) terjadi sengketa tanah di lahan yang semula atas nama Partareja, diambilalih Joko Windarto dari tahun 2005 silam.
“Warga kami sudah berupaya dalam sengketa ini. Namun keputusan Pengadilan Negeri (PN) Cilacap terkait sengketa tanah turun. Sehingga tanah tersebut dieksekusi berdasarkan surat eksekusi No 3 PTN tahun 2005 yaitu sengketa warga kami dengan Joko Windarto. Dalam putusan itu, Joko yang memenangkan. Padahal secara kronologi, warga kami punya bukti terkait jual beli (mutasi), dan ada semua,” terang Warsam, Kepala Desa Widarapayung Kulon, Jumat (6/10/2023) sore.
Dan faktanya dalam satu bidang tanah ada dua sertifikat, milik penggugat dan tergugat.
Artinya, induk sertifikat itu memang atas nama Partareja.
Sampai detik ini, dari Partareja sampai warga kami buktinya ada di desa. “Dari seluruh sertifikat induk atas nama Joko Windarto, di PN Cilacap dimenangkan Joko.
Dalam hal ini kami juga berupaya untuk pengajuan PK (Peninjau Kembali),” imbuh Warsam.
Warsam keukeuh bahwa Ini perlu disampaikan kepada semua pemangku kebijakan, khususnya di Kabupaten Cilacap.
“Kami harapkan hasil keputusan ini bisa dikaji kembali. Biar warga kami jika kalah juga (itu dilakukan) secara transparan, terbuka, dan kita tahu persis duduk permasalahannya. Jika menang, itu juga hasil keputusan yang bijaksana,” ucap Warsam bijak.
Ia melanjutkan, untuk mutasi dari kelima warga ini ada di balai desa. Sedangkan sertifikat dari Partareja beralih ke Joko Windarto tidak ada mutasi di balai desa. “Nggak ada bukti bahwa Joko beli atau apa tidak ada di administrasi desa. Ini mohon klarifikasi dalam putusan PN, dan diharapkan ada PK lagi. Warga kami di dalam hukum yakin pada tahun 2005 karena warga kami awam terhadap hukum,” ungkapnya.
Terkait surat pemberitahuan dari pengadilan negeri tanggal 23 Mei 2023, menurut Warsam itu pelaksanaan eksekusi pertama.
“Dan itu bukan berarti tidak berhasil. Kami selaku pemerintah minta penundaan eksekusi. Upaya kami jelas menolak keputusan pengadilan negeri,” tandas Warsam.
“Harapannya biar terbuka, transparan terkait hasil keputusan PN Cilacap,” pintanya.
Sementara Sariwen, warga Jalan Ciputat RT 14 RW 05, Dusun Ciwulu, Desa Widarapayung Kulon mengatakan ia membeli tanah Partareja dari Hadi Sumarto 4 ubin (20 meter persegi) tahun 1989.
“Saya sudah mutasi di desa, saya sudah atas namakan, dan sudah disaksikan oleh perangkat Desa Widarapayung Kulon, dan diukur,” katanya.
Sariwen juga mengaku sudah punya sertifikat dan sudah menjadi hak miliknya. “Sampai saat ini saya masih menempati, menguasai, dan saya masih membayar pajak. Saya sudah menempati selama 33 tahun.
“Kenapa kok tahun 2005 itu Joko Windarto menggugat suami saya, Yusuf. Padahal tanah itu atas nama saya, Sariwen. Sampai suami saya dikalahkan di pengadilan,” imbuh Sariwen.
Tanggal 23 Mei 2023 sudah dilaksanakan eksekusi. Tapi itu nggak bisa karena Sariwen mempertahankan haknya.
“Setelah itu saya pergi ke luar negeri (Singapura), kok mau dieksekusi,” tanyanya.
Malah tanggal 10 Oktober 2023 mau dieksekusi lagi. Padahal ia membeli, benar-benar membeli. “Nanti saya tinggal di mana?” katanya sambil menangis.
“Saya benar-benar beli, demi Allah, berani sumpah mati,” serunya.
Ia bercerita di satu bidang tanah ada 6 sertifikat. “Saya punya 3 sertifikat karena yang dua itu saya beli ke Tusinah 3 ubin (15 meter persegi). Saya atas namakan anak saya Rohyati sama Indra Komsiyah.
” Setelah itu saya keluar negeri 10 tahun, kenapa tanah saya kok mau dieksekusi lagi. Nanti saya mau ke mana, pemerintah gimana?” ucapnya lagi.
Terkait Partareja tidak punya anak, kenapa sertifikat tersebut atas nama Joko Windarto.
BACA JUGA : Kasus Perampokan di Kedungreja Disidangkan, Tak Ada Saksi yang Meringankan
Sariwen mengaku tidak tahu. “Tapi punya saya resmi dari pertanahan (BPN), dan lingkungan semua tahu. Sementara punya Joko sama sekali tidak ada pengukuran, hal itu diketahui desa. Sampai sekarang Joko tidak pernah menempati tanah, tidak ada pengukuran, belum pernah menguasai, belum pernah membayar administrasi. Apa benar, pemerintah? Padahal saya yang betul membeli,” tuturnya.
Sertifikat Sariwen diketahui dari hasil membeli, ada bukti jual beli, mutasi di desa, dan ada pengukuran, serta ada SPPT.
“Keinginan saya, saya akan mempertahankan hak-hak saya karena saya membeli, saya tidak mau didzolimi. Mengajukan PK tidak bisa karena ada keputusan Mahkamah Agung (MA) dengan turunnya surat eksekusi,” jelasnya.
Sekarang masih ada perlawanan warga, kenapa besok pada tanggal 10 Oktober 2023 kok masih ada eksekusi lagi. Sedang tanggal 11 Oktober 2023 Sariwen menjalani sidang mediasi. Wallahu a’lam…
(Estanto)