BerandaOpiniItaewon, Kanjuruhan dan Beberapa Kasus Pada konser Akibat Stampede

Itaewon, Kanjuruhan dan Beberapa Kasus Pada konser Akibat Stampede

Opini – metropaginews.com || Secara umum stampede hanyalah simtom yang bisa dipicu oleh berbagai faktor baik kerusuhan, keruntuhan bangunan stadion, terorisme, hingga agresi petugas keamanan atau pun gabungan beberapa faktor ini. Ciri khas kematian dalam stampede adalah berupa trauma di bagian kepala dan dada karena benturan akibat terinjak, terjatuh, berdesakan, dan kekurangan oksigen.

Beberapa peristiwa stampede sebelumnya seperti kasus Stadion Hillsborough di Sheffield Inggris pada 1989 dan atau kasus Stadion Nasional di Lima Peru pada 1964 berasosiasi dengan massa yang melebihi kapasitas desain stadion yang berakibat pada keamanan stadion dan penanganan petugas keamanan yang kurang bijak.

Dalam paradigma studi pelayanan publik, petugas keamanan di stadion sepak bola sedang melakukan pelayanan langsung pada massa. Para pelayan langsung ini semestinya mengantisipasi perilaku PLDDHIS berdasarkan analisis risiko dan prediksi perilaku massa dan sikap petugas keamanan di lapangan.

Penyemprotan gas air mata yang sering dijadikan andalan untuk memecah konsentrasi kerumunan di daerah tanpa sekat justru berpotensi menimbulkan kepanikan massal, selain tidak tepat digunakan dalam gedung stadion.

Penggunaan gas air mata di stadion secara tegas dilarang oleh Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA).
Studi neurosains menunjukkan bahwa kepanikan massal berbeda dengan ketakutan pada level personal. Dalam kepanikan massal, dinamika interaksi antarindividu lebih penting dibandingkan emosi orang per orang.

Kerumunan yang panik memicu aktivitas antisipasi dan amplifikasi aksi yang lebih tak terkontrol. Naluri “selamatkan diri masing-masing”, termasuk PLDDHIS dan perilaku apa pun yang dirasa dapat membantu meninggalkan sumber bahaya menjadi lebih dominan.

Pada beberapa kasus stampede, orang-orang yang selamat mengungkap bahwa mereka tidak dapat melihat atau mendengar apa yang terjadi di hadapan mereka, sehingga secara keliru bergerak maju ke arah pintu yang terblokir.

Kalkulasi risiko sebelum fakta kejadian (ex ante) dan strategi mitigasi menjadi penting. Sayangnya hal ini sering menjadi disepelekan oleh penyelenggara acara dan stakeholder terkait termasuk petugas keamanan.

Studi kerumunan massal sudah menjadi sebuah disiplin baru dalam Studi Kesehatan Masyarakat – sebagaimana diluncurkan di Majelis Kesehatan Dunia Menteri Kesehatan di Jenewa tahun 2014.

Tata kelola kerumunan massal tidak hanya mencakup sistem perencanaan dan pengawasan risiko kesehatan masyarakat. Sebab, kerumunan massal secara intrinsik mengandung ancaman kesehatan masyarakat sehingga membutuhkan penyediaan layanan terkait.

Namun demikian, studi kerumunan massal tidak bisa direduksi sebagai isu kesehatan masyarakat semata. Studi ini seharusnya bersifat interdisiplin, mencakup studi kontrol massa dalam bencana dan kedaruratan, studi kepolisian, studi psikologi massa, studi administrasi publik, dan sebagainya.

Studi kerumunan massal tentunya tidak hanya difokuskan pada fenomena stampede. Risiko-risiko kerumunan massal juga menyasar fenomena-fenomena seperti kegagalan struktur bangunan stadion, terorisme, hingga potensi penularan penyakit menular serta kecelakaan.

Yang menarik, sejak abad ke-21, fenomena stampede sepak bola ini menjadi fenomena negara berkembang. Meningkatnya studi-studi kerumunan massal dari berbagai disiplin ilmu, termasuk neurosains di negara-negara maju pada abad ke-20, setidaknya mampu mereduksi kejadian stampede termasuk di Inggris dan daratan Eropa pada abad ini.

Efektivitas keputusan dalam kontrol massal membutuhkan edukasi dan pelatihan. Pengelola acara massal seperti PSSI maupun petugas keamanan dan para penyedia jasa keamanan publik hendaknya memahami tentang perilaku massa dan akibat dari potensi agresi petugas seperti ekses dalam penggunaan gas air mata.

Densitas kerumunan misalnya, harus dipertimbangkan dalam perumusan solusi. Ketika suatu kerumunan tidak terlalu padat, informasi dari rambu-rambu, indikator penunjuk arah, dan peta cukup efektif sebagai panduan bagi pergerakan manusia. Ketika densitas ini meningkat, intervensi dari personil yang terlatih amat dibutuhkan.

Kami berharap ada studi forensik yang komprehensif dalam kasus Kanjuruhan, termasuk dari sudut pandang psikologi massa untuk menyusun mitigasi potensi bencana stampede pada masa yang akan datang. Trouble never sends a warning. Even worse, if you delay more, you are going to spend even more.

Masalah muncul tanpa peringatan. Parahnya lagi, jika Anda menunda lebih lama, Anda harus menanggung ongkos lebih besar.

Kita perlu memastikan bahwa tragedi seperti di Kanjuruhan tidak boleh terulang. Selain aparat hukum harus mengusut kasus ini hingga tuntas dan terang, ke depan penyelenggara acara massal dan aparat keamanan harus menghitung risiko sebelum acara dan membangun strategi mitigasi untuk mencegah terjadinya stampede.

Penulis : Muhammad Yusuf, S,Sos ., M.M
Dosen Ilmu Administrasi Bisnis STIA Bandung

Komentar Klik di Sini