OPINI – METROPAGINEWS.COM || Mokhsa juga dapat disebut mukti, dalam filsafat dan agama India berarti pembebasan dari siklus kematian dan kelahiran kembali (samsara). Berasal dari kata Sansekerta ‘muc’ (membebaskan), istilah mokhsa secara hrafiah berarti bebas dari samsara. Secara tradisional, mokhsa terkait erat dengan konsep kesadaran universal, di mana seorang menerima diri sebagai kesatuan dengan semua keberadaan. Untuk mencapai mokhsa atau kebebasan ini, manusia hendaknya mulai melepaskan keterikatan pada harta dan keinginan duniawi hingga mereka dapat mencapai mokhsa.
Didefinisikan sebagai pembebasan atau kebebasan, mokhsa adalah keadaan dimana sifat sejati seseorang diingat, terlepas dari batasan keberadaan duniawi. Konsepnya; yang perlu kita lakukan untuk menemukan kedamaian dan tujuan dalam hidup ini adalah mengingat bahwa kita lebih dari sekedar tubuh fisik.
Kebebasan Yang Diperjual-Belikan
Kebebasan dimiliki oleh setiap manusia. Kebebasan yang ada didalam diri manusia ditujukan untuk dapat menentukan hidupnya sendiri. Kebebasan yang mungkin tak berhak orang lain untuk mencampurinya. Namun, dengan perkembangan zaman yang terjadi seiring berjalannya waktu, manusia kerap menyalahgunakan kebebasan yang ada pada dirinya. Melalui relasi yang dilakukan dengan orang lain, kebebasan yang ada pada masing-masing orang kerap digunakan untuk kepentingan priadi guna mencapai tujuan yang diinginkan. Hal semacam ini tentunya menjadi titik kehancuran bagi peradaban manusia di muka bumi ini. Manusia seolah saling memangsa satu sama lain, hingga muncullah yang terkuat untuk menjadi pemenang.
Salah seorang filsuf terkemuka Eksitensialisme, Jeal-Paul Sartre pernah mengatkan; “manusia merupakan lawan bagi manusia lain”, sebab seringkali kita mengobjekkan orang lain untuk memuaskan diri sendiri.
Sebagai individu manusia, “organisme praktis”, tetap merupakan makhluk yang bebas. Namun, kebebasannya terasing atau teralienasi.
Keterasingan itu terjadi karena praksis kegiatan bebas mengobjekvasasikan dirinya dalam berbagai produknya. Keterasingan itu bahkan diperhebat lagi oleh adanya praksis-praksis bebas yang lain lagi yang juga mengolah materi.
Dengan demikian, produk yang dihasilkan oleh orang tertentu juga hampir tidak dapat dikenal lagi olehnya sendiri. Dengan demikian, kegiatan-kegiatan manusia yang banyak itu mengingkari totalitas aktif orang yang bersangkutan itu sendiri.
Kebebasan dalam taraf saat ini bahkan dapat diperjual-belikan. Hal ini tentunya memberikan dampak buruk didalam kehidupan manusia. Selain manusia akan merasa takut akan kebebasan yang akan dirampas, timbul pula perpecahan dari kesatuan dan rasa saling percaya. Namun, dalam menyikapi hal demikian masih begitu banyak oknum-oknum yang telah ‘menang’ justru memilih untuk bungkam dan mungubur dirinya dibalik kemegahan yang telah ia peroleh. Senyuman kebahagiaan atas kemegahan yang telah diperoleh tampaknya telah menghapus senyum kesedihan bagi mereka yang kalah dan selalu tertindas.
Tentunya hal ini sangat miris bila dipikirkan tanpa adanya tindakkan yang diambil. Kebebasan dalam berbicara dibatasi untuk menutupi apa yang telah terjadi didepan mata. Sebagai kalangan kelas bawah, yang dapat dilakukan saat ini hanyalah menyampaikan aspirasi kepada para penguasa, namun aspirasi yang telah diserukan berulang-ulang kali, hanya sampai pada pertengahan perjalanan, lalu hilang ditiup oleh angin keserakahan.
Datang dengan begitu banyak janji-janji manis. Dengan kebebasan mutlak yang hendak diberikan. Berlandaskan keadilan yang akan selalu diperjuangkan. Dan atas nama kekuasaan, maka terhapuslah semua hal itu. Seperti halnya persoalan yang sedang terjadi saat ini di Indonesia, khususnya NTT mengenai Human Traficking.
BACA JUGA : Ketua MPR RI Bamsoet Tegaskan Negara Butuh Haluan
Kebebasan orang dalam menjalani hidup dirampas begitu saja oleh keegoisan dari pihak lain demi mewujudkan keinginan mereka. Dalam situasi yang buruk ini, Gubernur NTT yang memiliki kedudukan tertinggi justru lari dari masalah dengan menundurkan diri dan lenyap dibalik harta yang telah ia kumpulkan selama ini. Kebebasan hidup untuk mengumpulkan segala kebajikan sebagai bekal bagi kehidupan abadi dapat direngut begitu saja oleh hasrat yang membutakan. Hasrat untuk ingin menjadi pemenang dalam kehidupannya saat ini, tanpa dia sadari bahwa didalam tubuh ini bukan hanya bersemanyam jiwa, namun ada raga yang mungkin terlupakan oleh mereka yang telah diperbudak oleh kemewahan duniawi.
Dari Ego Menuju Pada Kehancuran
Sebagian besar, kita menjalani hidup yang didorong oleh keinginan dan ego, nafsu dan kekuasaan, uang dan keserakahan. Keterikatan kita pada harta benda, dan orang hanya membatasi kita pada keberadaan kita yang terbelenggu.
Menurut filosofi India, hidup dengan cara ini menjebak kita dalam samsara, siklus kematian dan kelahiran kembali yang tak berujung dan biasa. Dalam cara keberadaan yang paling mendasar ini, kita terikat pada semua rasa sakit, penderitaan, dan keterbatasan kehidupan duniawi, dicengkram oleh dualitas pengalaman dan akibatnya bingung dengan tujuam kita.
Ego yang ada dalam diri kita sungguh sangat nyata dalam kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) ini. Kejahatan yang dilakukan dengan mengambil paksa kebebasan dari kehidupan seseorang demi peruntungan bagi dirinya sendiri, merupakan bukti bagaiman ‘ganasnya’ persaingan hidup pada era saat ini.
Mahfud MD selaku Mentri Politik Hukum dan Ham (Menkopolhukam) memberikan data mengenai kasus TPPO yang terjadi di NTT saat ini; “Sangat darurat, karena dari laporan yang diterima, terhitung dari 2020,2021, hingga 2022 jumlah yang ada sekitar 1.90 mayat yang pulang ke Indonesia dan yang paling banyak adalah NTT”, demikian yang dikatakan oleh Mahfud MD di Maumere, Kabupaten Sikka, NTT, Rabu (31/5) seperti dilansir Antaranews.
Berkaca dari begitu banyak jumlah korban yang ada, bukankah ini merupakan suatu hal yang sangat menakutkan dan begitu keji bagi seorang manusia yang menjadi manusia. Bukankah hanyalah binatang yang memangsa sesamanya saat lapar ataupun tidak?. Namun, bukankah karena rasa lapar itulah sebagai pemicu untuk memangsa sesamanya.
Kebebasan yang ada dalam diri manusia inilah yang disalah pergunakan untuk mengambil kebebasan dari orang lain diera saat ini. Kebebasan hidup yang diperjual-belikan demi memenuhi ego dalam diri. Sementara Gubernur hanya duduk berpangku tangan melihat kejahatan keji ini dari dalam egonya. Pemimpin yang seharusnya dapat menjamin kebebasan dalam hidup, justru seolah-olah menjadi penentu dari kebebasan dalam kehidupan orang lain. Ia justru melepas para rakyatnya untuk mengumpulkan dosa dalam cerita hidupnnya dan mengubur pengetahuan mereka tentang adanya kehidupan setelah adanya kematian.
Kebahagiaan dan keabadian yang seharusnya dapat dicapai melalui proses kehidupan di dunia ini, dihilangkan begitu saja, seiring hilangnya dia sebagai pemerintah yang seharusnya dapat mengayomi, memberikan ketenangan,dan kedamaian bagi rakyatnya, melalui dosa yang diperbuat rakyatnya secara terus-menerus tanpa ada tindak lanjut dari dia selaku pemerintah yang mempunyai keputusan dan kebijakan untuk dapat mencari solusi dan pemecahan dari masalah mengenai Human Traficking ini. Masalah yang tengah terjadi ini, tidak akan terselesaikan tanpa adanya kebijakan yang dapat memberikan ketakutan pada kebebasan orang dalam melakukan segala sesuatu dalam hidupnya. Sebab sebagai seorang pemimpin yang telah dipercayakan untuk memimpin, hendaknya dapat mengambil kebijakan untuk dapat menyelesaikan persoalan yang tengah terjadi.
Oleh: YULIUS CELVIN NENO METAN
Mahasiswa Universitas Katolik Widya Mandira – Kupang
(ALBERTO)