OPINI – METROPAGINEWS.COM || Gerakan pemikiran filsafat India dikenal sudah dimulai pada Zaman Weda dengan menjadikan alam semesta sebagai objek utama pembahasannya. Manusia dipandang sebagai bagian kecil dari alam yang luas ini. Sifat-sifat manusia identik dengan sifat-sifat alam itu. Dalam filsafat India manusia tidak dapat dipisahkan dari alam. Maka manusia takluk dan wajib bersahabat dengan alam. Cara pandang tersebut menyebabkan manusia sering kali harus “mengalah” kepada alam, sehingga manusia lebih banyak menderita. Hidup, menurut mereka, adalah penderitaan. Penderitaan tersebut akibat dari keterikatannya manusia pada kehidupan duniawinya. Agar tercapai kebahagiaan sejati, manusia harus membebaskan diri dari keterikatannya pada dunia. Filsafat India banyak mempersoalkan hal-hal yang berkaitan dengan kebebasan dari ikatan duniawi itu.
Karena filsafat India berawal dari penderitaan manusia, maka subjek manusia mendapat peran yang besar dari pada objek-objek yang terdapat dalam pengalaman manusia. Self yang menderita selalu merupakan subjek. Jika tidak demikian maka subjek hanya dianggap hanya satu benda, semata-mata objek.
Menurut Radhakrishnan dan Moore, ada tujuh ciri umum yang mencakup hampir seluruh sistem filsafat India, yang menyatakan sebagai berikut:
1. Motif spiritual yang mendasarinya. Motif ini mewarnai usaha filsafat India maupun hidup pada umumnya. Penghayatan keagamaan dan agama amat terkait dengan filsafat
2. Filsafat India ditandai dengan sikap introspektif dan pendekatan introspektif terhadap realitas. Filsafat dipahami sebagai atmavidya, pengetahuan akan diri. Oleh karena itu, perhatian lebih diletakkan pada subjektivitas daripada objektivitas. Karena itu pula psikologi dan etika dianggap lebih penting daripada ilmu pengetahuan alam atau ilmu pengetahuan positif yang tetap menjadi bagian dari kesibukan mereka.
3. Adanya hubungan erat antara hidup dan filsafat. Tendensi ini kita temukan dalam filsafat India.
4. Tendensi introspektif membuat filsafat India lebih bersifat idealis. Bukannya berarti bahwa tidak ada dualisme atau pluralisme, tetapi kalu pun ada, itu telah diresapi oleh ciri monistik yang kuat.
5. Hanya intuisilah yang diakui sebagai mampu menyingkap kebenaran yang tertinggi. Ini tidak berarti bahwa pemikiran ditolak. Pemikiran, pengatahuan intelektual dianggap tidak mencukupi. Oleh karena itu, kata yang tepat untuk filsafat adalah darsana, berasal dari kata “drs” berarti melihat, suatu pengalaman intuitif langsung. Pemikiran diakui mampu menunjukkan kebenaran, tanpa ia sendiri mampu menemukan dan mencapainya.
6. Penerimaan terhadap otoritas. Kendati dalam tingkat tertenti sistem-sistem filsafat India berbeda dalam keterikatannya dengan sruti, namun tidak satu pun sistem-sistem yang ada kecuali carvaka yang secara terang-terangan yang mengabaikan insight intuitif yang diajarkan oleh para guru Upanisad, Buddha, dan Mahavira. Brata mengartikan sruti sebagai pengetahuan yang diturunkan dari tanda-tanda, simbol, atau kata. Termasuk di dalamnya adalahh asosiasi, perhatian, pemahaman, dan nyaya, yang berarti aspek-aspek arti yang ada pada benda-benda.
7. Adanya tendensi untuk mendekati, berbagai aspek pengalaman dan realitas dengan pendekatan sintesis. Ciri ini setua Rg Veda (Regweda) yang memahami bahwa agama yang benar akan mencakup semua agama, sehingga ”Tuhan itu satu, tetapi manusia menyebutnya dengan banyak nama”. Agama dalah filsafat, pengetahuan dan perbuatan, intuisi dan pemikiran, Tuhan dan manusia, noumena dan fenomena, semua dipandang sebagai dan diletakkan dalam suatu harmoni justru karena adanya tendensi sintesis ini. Visi sintesis ini yang menyebabkan semua sistem dapat hidup dalam toleransi.
Kali ini saya mencoba untuk menelaah sebuah konsep santhi (aliran filsafat Hindu), dan mengaitkannya dengan keadaan hidup manusia yang tidak luput dari situasi apapun yang dialaminya. Santhi merupakan pemikiran positif atau kedamaian diri. Contohnya bahwa ketika seseorang menemukan sebuah kejadian yang sama sekali tidak sejalan dan sesuai dengan apa yang diharapkan kemudian jika ia berpikir untuk tidak menerimanya atau tidak ikhlas maka justru akan membawanya kepada keterpurukan dan kegelapan. Namun bila diterima secara ikhlas akan membawanya pada kebenaran yang sejati. Dalam hal ini sangat ditekankan rasa syukur terhadap apa yang dimiliki dan didapatkannya.
BACA JUGA : Ketua MPR RI Bamsoet Tegaskan Negara Butuh Haluan
Musuh terbesar manusia adalah diri sendiri. Dimana manusia sulit untuk menguasai diri dalam menghadapi suatu situasi yang dialaminya. Memang manusia dikenal sebagai makhluk sosial, yang memiliki kehendak bebas untuk melakukan apa saja yang ia mau. Tetapi tidak semua manusia mampu berdamai dengan diri sendiri. Mungkin dari kehadiran konsep santhi mampu mengarahkan ratio manusia untuk sampai pada tahap intropeksi diri. Dimana manusia harus lebih bijak untuk menerima situasi atau keadaan yang dialaminya. Salah satu contoh konkret yang saya ambil ialah pada penderita disabilitas. Kekurangan yang dialami oleh mereka sering kali menjadi objek bullying. Ada yang menerima ada pula menolak keadaan yang harus mereka alami. Namun ada yang menerima itu bahkan menganggap biasa saja. Toh keadaan yang mereka alami bukan keinginan mereka, melainkan pemberian dari Tuhan, dan mereka menghargai itu dengan cara menerima keadaan yang mereka alami bahkan bullying sekalipun. Hal seperti inilah yang dituntut dari konsep santhi, di mana rasa syukur menjadi titik utama dari konsep tersebut, sehingga kita sebagai manusia lebih menyadari dan memaknai kehidupan yang kita jalani.
SUMBER REFERENSI
Darmodiharjo, darji dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006
Gunawan, I Ketut Pasek Gunawan. (2022). Metodologi Hindu Nawa Darsama Berdasarkan Filsafat Nyanya. Jurnal Agama dan Budaya PURWADITA, (Vol. 6, No. 2), 111.
Oleh: Alexis Dicky Taunais
(Mahasiswa, Universitas Katolik Widya Mandira Kupang)