SURAKARTA – METROPAGINEWS.COM || Mediasi yang berlangsung di ruang rapat Gedung Wahana A Dinas Perhubungan Kota Surakarta mengakhiri pertemuan antar-pemangku kepentingan dengan keputusan tegas mengenai keberadaan Maxride dan operasional bajaj di wilayah Solo Raya. Pertemuan yang dihadiri perwakilan Pemerintah Kota, Dinas Perhubungan, Polresta, Satlantas, paguyuban becak, organisasi masyarakat, serta paguyuban ojol menegaskan satu sikap bersama. Solo tidak membuka ruang bagi moda transportasi yang belum memenuhi persyaratan regulasi dan sosial. Keputusan kolektif ini lahir dari pertimbangan keselamatan, ketertiban administrasi, dan keberlanjutan mata pencaharian lokal (13/10/2025).
Pemerintah Kota Surakarta menyatakan secara eksplisit tidak memberikan izin operasional bagi Maxride di Solo Raya. Pernyataan itu menegaskan prinsip kehati-hatian publik dan administratif, setiap moda baru wajib melalui kajian terpadu yang menilai aspek teknis, perizinan, dampak lalu lintas, dan dampak sosial ekonomi sebelum diizinkan beroperasi. Hingga kini belum ada bukti kuat bahwa Maxride memenuhi seluruh standar yang dipersyaratkan, sehingga pemberian izin dianggap prematur dan berisiko menimbulkan disrupsi pada ekosistem transportasi lokal.
Kepala Dinas Perhubungan Surakarta menekankan prioritas pada penguatan sistem transportasi yang telah ada. Penataan angkutan umum, penegakan aturan keselamatan lalu lintas, dan perlindungan terhadap mata pencaharian tradisional menjadi fokus kebijakan saat ini. Keputusan menahan masuknya moda baru dimaksudkan memberi ruang bagi pemerintah untuk merumuskan regulasi yang komprehensif dan inklusif sehingga perubahan di sektor transportasi tidak menciptakan konflik kepentingan atau disrupsi sosial yang merugikan kelompok rentan.
Aspek penegakan hukum menjadi perhatian utama dalam mediasi. Perwakilan Organda dan Forum Komunikasi Kerukunan Becak memaparkan temuan banyaknya bajaj yang beroperasi tanpa kelengkapan administratif seperti STNK, TNKB yang sesuai, dan izin usaha angkutan. Ketidaklengkapan dokumen tersebut berkaitan langsung dengan akuntabilitas kendaraan, keselamatan penumpang, dan kemampuan aparat penegak hukum untuk menerapkan aturan lalu lintas. Rencana penerbitan surat larangan operasional bagi bajaj di wilayah Surakarta menjadi langkah awal penertiban yang diharapkan bersifat sistematis dan terukur.
Paguyuban becak menyambut keputusan mediasi dengan tuntutan lebih jauh, percepatan penyusunan peraturan daerah yang melarang operasional bajaj. Bagi komunitas becak, kehadiran bajaj selama ini dipandang menggerus pasar mereka, merusak keseimbangan ekonomi mikro, dan mengikis nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi bagian dari identitas kota. Permintaan terhadap perda menunjukkan keinginan agar penertiban didukung landasan hukum yang kuat sehingga kebijakan bersifat tahan lama dan dapat diawasi secara efektif.
BACA JUGA : Kasus Perampokan di Kedungreja Disidangkan, Tak Ada Saksi yang Meringankan
Suara organisasi ojol Garda Solo Raya turut menegaskan urgensi penertiban. Kelompok pengemudi aplikasi menyatakan frustrasi terhadap praktik operasional moda yang berstatus ilegal dan bermasalah dalam hal izin serta kelengkapan surat-surat. Desakan mereka mencerminkan kekhawatiran atas ketertiban ruang publik dan keselamatan pengguna jalan, serta persaingan usaha yang tidak sehat bila moda tertentu beroperasi tanpa melewati mekanisme legal yang sama.
Dari sisi aparat, Kepala Satuan Lalu Lintas Polres Kota Surakarta Kasat Lantas Kompol Agung Yudiawan menyoroti pentingnya prosedur registrasi kendaraan dan verifikasi dokumen yang efektif. Meski banyak proses kini berjalan lewat sistem elektronik, termasuk penerapan ETLE untuk penegakan hukum, implementasi teknologi harus diikuti sosialisasi dan akses layanan memadai bagi pelaku transportasi kecil. Tanpa dukungan administratif dan teknis yang terjangkau, upaya penertiban berisiko menimbulkan ketidakadilan bagi mereka yang berniat memenuhi aturan namun terhambat proses yang kompleks.
Mediasi mencapai konsensus untuk menolak bentuk operasional bajaj dan moda serupa yang tidak memenuhi standar di Kota Surakarta. Untuk langkah awal pemerintah merumuskan Surat Edaran yang mengatur pelarangan operasional bajaj di wilayah Solo, sebagai instrumen sementara yang dapat segera ditegakkan sambil menunggu regulasi permanen seperti Perda. Surat Edaran ini diharapkan memberi kepastian hukum yang diperlukan untuk tindakan penertiban awal.
Bambang Wijanarko Akrab disapa Uye Ketua Garda Solo Raya mengingatkan “Keberhasilan penegakan kebijakan menuntut pendekatan yang adil dan terencana. Penertiban efektif harus melibatkan fase sosialisasi, pemberian tenggat waktu yang wajar untuk penyesuaian administratif, serta opsi pendampingan bagi pemilik kendaraan dalam proses legalisasi atau transisi pekerjaan. Tanpa mekanisme transisi yang manusiawi, kebijakan yang terburu-buru berpotensi memicu konflik sosial dan menambah beban ekonomi bagi keluarga yang menggantungkan hidup pada penghasilan dari moda yang ditertibkan.” jelasnya.
Lebih Lanjut Rencana mitigasi sosial perlu memasukkan program kompensasi dan alternatif penghidupan untuk pelaku transportasi tradisional. Pelatihan keterampilan, bantuan modal usaha, dan integrasi ke dalam skema transportasi formal dapat menjadi bagian dari strategi agar perubahan kebijakan tidak merampas mata pencaharian warga. Sinergi antara penegakan hukum, penyusunan regulasi inklusif, dan kebijakan transisi yang manusiawi akan menentukan apakah Surakarta berhasil menata ulang ruang mobilitasnya tanpa mengorbankan keadilan sosial dan keberlanjutan ekonomi masyarakat.
Di sisi lain ketidakhadiran perwakilan Maxride pada mediasi menambah tekanan publik untuk pengawasan yang ketat. Komitmen kolektif dari pemangku kepentingan menegaskan bahwa masyarakat dan ekosistem transportasi Surakarta akan terus mengawal proses pemberian kepastian hukum, keselamatan publik, dan keteraturan layanan transportasi demi keseimbangan ruang kota yang adil dan berkelanjutan.
( Pitut Saputra )
Komentar Klik di Sini