KLATEN-METROPAGINEWS.COM ||
Piodalan ke-19 Pura Candi Untoroyono di Dusun Nayan, Desa Kalangan, Kecamatan Pedan, Kabupaten Klaten, yang akan dilaksanakan pada Jumat, 19 Desember 2025 mendatang, pukul 08.00 WIB, bukan sekadar rangkaian ritual tahunan. Bagi masyarakat setempat dan panitia penyelenggara, upacara ini merupakan perayaan ulang tahun pura sekaligus momen penting untuk memperkuat ikatan spiritual dan sosial. Ketut Megantara, ST, selaku Ketua Panitia, menegaskan bahwa memahami perbedaan antara Piodalan dan Melaspas adalah kunci agar tradisi dilaksanakan dengan benar dan bermakna (13/12/2025).
Piodalan dan Melaspas: Dua Ritual, Dua Makna
Menurut Ketut Megantara, banyak orang sering mencampuradukkan istilah dan fungsi kedua ritual ini. Ia menegaskan “Piodalan adalah ulang tahun pura, saat kita merayakan kelahiran kembali tempat suci dan memperbaharui ikatan spiritual dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sedangkan Melaspas adalah upacara pembersihan dan penyucian bangunan yang baru selesai dibangun atau direnovasi”. Penegasan ini penting agar masyarakat memahami konteks ritual sehingga tata laksana, persembahan, dan niat pelaksanaan sesuai dengan tujuan masing‑masing upacara.
Piodalan menekankan rasa syukur, kontinuitas tradisi, dan regenerasi spiritual. Melaspas, di sisi lain, berfokus pada penyucian fisik dan metafisik bangunan agar layak dipergunakan sebagai tempat ibadah. Ketut menambahkan bahwa keduanya saling melengkapi “Ketika sebuah pura direnovasi, kita lakukan Melaspas untuk menyucikan struktur, setelah itu, Piodalan menjadi momen merayakan kembalinya pura ke fungsi spiritualnya”.

Visi Panitia: Kedisiplinan, Partisipasi, dan Dokumentasi
Sebagai ketua panitia, Ketut Megantara, ST memandang tugasnya lebih luas daripada sekadar mengatur jadwal. Ia menekankan tiga pilar utama penyelenggaraan: kedisiplinan pelaksanaan, keterlibatan komunitas, dan pendokumentasian budaya. Kedisiplinan memastikan setiap prosesi berjalan khidmat dan tertib, keterlibatan komunitas memperkuat rasa memiliki, dokumentasi menjamin pengetahuan ritual tersimpan untuk generasi mendatang.
Ketut juga menekankan pentingnya melibatkan generasi muda dalam latihan tari, gamelan, dan tata upacara. Menurutnya, regenerasi praktis, bukan hanya teori adalah cara paling efektif menjaga tradisi tetap hidup. Ia mendorong umat, pemuda desa dan mahasiswa seni untuk aktif berperan sehingga pengetahuan ritual tidak hanya tersimpan di kepala orang tua tetapi juga dihidupi oleh penerusnya.
Rangkaian Acara dan Nilai Edukatif
Piodalan ke-19 akan dimulai dengan prosesi Mangatur-atur pukul 08.00 WIB, dilanjutkan pembukaan, sambutan tokoh agama dan pemerintahan, penampilan tari sakral, upacara sembahyang, hingga Dharma Wacana dan penutupan pada pukul 13.00 WIB. Ketut melihat setiap segmen sebagai media edukasi, tari Rejang Pangastuti dan Tari Topeng Sidakarya mengajarkan simbolisme dan estetika ritual, Dharma Wacana menerjemahkan ajaran suci ke praktik kehidupan sehari-hari.
Ia menekankan bahwa acara bukan hanya tontonan, melainkan ruang pembelajaran kolektif. “Setiap persembahan, setiap gerak tari, dan setiap doa mengandung pelajaran tentang etika, harmoni, dan tanggung jawab sosial,” ujar Ketut.
Tantangan dan Solusi Praktis
Ketut mengakui tantangan seperti keterbatasan sumber daya, koordinasi lintas lembaga, dan kebutuhan menjaga ketertiban. Solusinya adalah pendekatan partisipatif, melibatkan relawan lokal, tokoh adat, dan pemuda, menjalin komunikasi intensif dengan pihak desa dan instansi terkait, serta memanfaatkan dokumentasi digital untuk arsip dan pembelajaran. Ia menekankan bahwa teknologi harus menjadi alat penguat tradisi, bukan pengganti pengalaman sakral langsung.

Tahun Ini Spesial: Kehadiran Bupati Klaten
Satu hal yang membuat Piodalan ke-19 istimewa menurut Ketut Megantara adalah undangan khusus kepada Bupati Klaten, Hamenang Wajar Ismoyo, S.I.Kom, yang turut diundang untuk hadir. Ketut menyatakan bahwa kehadiran Bupati bukan sekadar penghormatan protokoler, melainkan bentuk pengakuan publik terhadap peran pura sebagai pusat budaya dan spiritual di wilayah Klaten. “Kehadiran Bupati menunjukkan dukungan pemerintah daerah terhadap pelestarian budaya lokal dan memperkuat pesan toleransi serta kebersamaan antar warga,” kata Ketut.
Ajakan Ketua Panitia
Sebagai penutup, Ketut Megantara, ST mengundang seluruh warga dan pihak yang peduli budaya untuk hadir dan berpartisipasi aktif. Ia mengingatkan bahwa kehadiran bukan sekadar formalitas, melainkan dukungan nyata terhadap kelestarian pura dan nilai-nilai yang diwakilinya. “Mari kita rayakan ulang tahun pura ini dengan penuh bhakti, disiplin, dan rasa kebersamaan. Jaga tradisi, ajarkan pada generasi muda, dan sambut tamu kehormatan dengan sikap yang hangat,” tutup Ketut.

Momentum sambut tahun baru
Akhirnya, dari perayaan Piodalan ke-19 dan Melaspas Pura yang akan dilaksanakan pada Jumat mendatang, semoga momentum ini menjadi awal yang baik dalam menyambut tahun yang baru serta membawa keberkahan bagi seluruh umat yang merayakan. Lebih dari sekadar upacara, Piodalan sebagai ulang tahun pura dan Melaspas sebagai penyucian bangunan mengajarkan kita pentingnya kontinuitas spiritual, tanggung jawab bersama, dan penghormatan terhadap warisan budaya, oleh karena itu partisipasi aktif generasi muda, dokumentasi ritual, dan praktik Tri Hita Karana harus terus didorong agar nilai‑nilai tersebut hidup dan diwariskan. Semoga pelaksanaan yang tertib, khidmat, dan penuh kebersamaan ini memperkuat solidaritas komunitas, memperkaya pemahaman religius, dan menjadi teladan pelestarian budaya bagi masyarakat luas.
( Pitut Saputra )

