KLATEN – METROPAGINEWS.COM || Menjelang perayaan HUT ke-80 Republik Indonesia, berbagai perlombaan mulai digelar di sejumlah daerah, termasuk desa-desa kecil. Kemeriahan sore hari (31/07/2025) mulai tampak, dengan kreativitas warga yang meriah. Di tengah euforia itu, permainan tradisional Engklek mulai terlihat kembali, meski sudah lama hampir terlupakan.
Permainan yang hanya membutuhkan kapur dan batu kecil ini, dahulu sangat akrab di halaman rumah dan gang-gang sempit Nusantara. Kini, Engklek mulai jarang dimainkan, kalah pamor dengan gim di gawai dan dunia digital yang mendominasi aktivitas anak-anak.
Namun, di pelataran Pojok Kreatif Delanggu, permainan ini kembali dimainkan oleh beberapa anak. Engklek tak sekadar permainan lompat-lompatan, tetapi sarat manfaat: melatih keseimbangan, motorik, serta membangun interaksi sosial. Sayangnya, di tengah era teknologi, permainan menyehatkan dan murah meriah ini terpinggirkan.
Warisan Budaya yang Terlupakan
Asal-usul Engklek masih diperdebatkan. Sebagian sejarawan menyebut permainan ini merupakan adaptasi dari hopscotch Eropa yang dibawa Belanda saat masa kolonial. Ada pula teori yang menyambungkannya ke Kekaisaran Romawi, lalu menyebar ke India, Tiongkok, dan Asia Tenggara, hingga akhirnya bertransformasi sesuai kearifan lokal di Nusantara.
Suroto, pegiat kreatif dari RT 04 RW 03 Kuncen Sidodadi Delanggu, mengatakan, “Ketika masuk ke desa-desa, kita akan mendengar berbagai nama untuk Engklek, seperti taplak gunung, teklek, atau cukup disebut loncat-loncatan. Pola gambar tanahnya pun bervariasi dari angka, heksagon, hingga kotak bertingkat. Ada yang menyebut kotak terakhir sebagai tugu, simbol puncak pencapaian.”
Menurutnya, Engklek bukan hanya permainan fisik, tapi juga medium pewarisan nilai dan budaya antar generasi.
Manfaat Fisik dan Mental
Engklek adalah alternatif olahraga ringan yang dapat diakses siapa saja. Lompatan satu kaki melatih otot tungkai, keseimbangan tubuh, serta koordinasi mata dan tangan. Pola petak yang harus dilompati melatih otak dalam memetakan strategi dan menghitung langkah.
“Permainan ini sederhana dari sisi peralatan, tapi menantang secara teknik,” jelas Suroto.
Dari sisi emosional dan sosial, Engklek mengajarkan sportivitas, kesabaran menunggu giliran, menerima kekalahan, dan bersikap rendah hati saat menang. Anak-anak pun belajar menghormati batas permainan, bekerja sama, dan menjalin komunikasi dengan teman sebaya.
Melestarikan di Tengah Arus Digital
Meski manfaatnya berlimpah, Engklek kini semakin jarang dimainkan. Video game dan media sosial menjadi pilihan utama anak-anak. Oleh karena itu, perlu upaya pelestarian.
Sekolah dapat memasukkan Engklek dalam kurikulum olahraga, pemerintah daerah bisa mengadakan lomba permainan tradisional, dan komunitas dapat menggelar workshop keluarga. Momen-momen seperti car free day, festival budaya, hingga lomba Agustusan bisa dijadikan ajang kebangkitan Engklek di ruang publik.
Suroto menambahkan, “Engklek mengajarkan kita bahwa setiap perjalanan besar dimulai dari lompatan kecil. Dari sekadar kapur dan batu, kita belajar nilai-nilai kejujuran, kebersamaan, dan semangat perjuangan.”
Ia pun mengajak, “Mari hidupkan kembali permainan ini. Jadikan Engklek bagian dari lomba Agustusan di kampung-kampung. Wariskan kepada generasi mendatang agar budaya ini tidak hilang, dan semangat fair play tetap terjaga.”
(Pitut Saputra)
Komentar Klik di Sini