OPINI – metropaginews ||
Pendidikan merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat, karena dengan pendidikan manusia menjadi berbudaya, dan mampu secara terus-menerus mengembangkan budaya tersebut demi kehidupan yang lebih baik (Uhar, 2015).
Undang- Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003, menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha
Pengelola pendidikan tinggi di Indonesia tidak hanya dilaksanakan oleh pemerintah, tetapi pula oleh masyarakat dalam bentuk yayasan, perkumpulan, dan bentuk lainnya yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan bersifat nirlaba (Patdono, 2015).
PTS merupakan institusi pendidikan tinggi milik masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan tinggi berdasarkan mandat akademik yang diberikan pemerintah dan pendelegasian wewenang pengelolaan oleh Yayasan. Untuk melaksanakan pendidikan yang bermutu dan manajemen yang akuntabel perlu pengaturan tata kelola (governance) yang baik dan benar.
Jumlah perguruan tinggi di Indonesia 4684 dengan 24057 program studi (PD-Dikti, 2017), dengan jumlah sebanyak ini merupakan tantangan pemerintah khususnya Kemeterian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi untuk membina dan mengawasi supaya tidak terjadi pelanggaran yang merugikan mahasiswa dan masyarakat secara umum.
Masyarakat juga harus selektif memilih masuk ke perguruan tinggi supaya betul-betul menjamin dari segi legalitas dan proses pembelajaran untuk mencapai kompetensi yang sesuai dengan tuntutan stakeholder.
Banyaknya perguruan tinggi di Negara kita maka persaingan makin ketat, mau tidak mau perguruan tinggi harus mengedepankan kualitas sebagai ujung tombak untuk memenangkan persainagan ini.
Ada empat komponen yang harus diperhatikan yaitu: Tata kelola, Sumberdaya dosen yang kompeten, kegiatan penelitian dan publikasi, serta kegiatan kemahasiswaan.
Oleh karena itu pendidikan tinggi terus adaptif terhadap semua perubahan dan tuntutan pemangku kepentingan, baik dalam tataran sistem, manajemen, maupun tataran teknis agar bisa berkembang menghadapi perkembangan globalisasi.
Tata Kelola Perguruan Tinggi Mengacu Kepada Persaingan Global
Salah satu isu penting pendidikan tinggi adalah persoalan tata kelola perguruan tinggi yang kerap dikaitkan dengan isu komersialisasi, privatisasi, dan sebagainya. Sementara pengaturan yang menjamin serta memagari pemenuhan hak, serta pengaturan sistem tata kelola dengan prinsip tata kelola yang baik ini masih lemah.
Berbagai pro-kontra mengenai otonomi dan tata kelola perguruan tinggi seringkali dikaitkan dengan anggapan bahwa pengaturan yang ada dalam UU Dikti ini merupakan upaya pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi, etatisme, komersialisasi, pendidikan tinggi menjadi mahal, serta persoalan lainnya. Pengaturan mengenai tata kelola perguruan tinggi yang diatur dalam UU Dikti ini dianggap telah mengebiri kebebasan akademik serta hak otonomi yang dimiliki oleh perguruan tinggi menjadi pengaturan yang terlalu berlebihan oleh pemerintah pusat.
Dalam hal pengelolaan Perguruan Tnggi Swasta (PTS), pemerintah memberikan keleluasaan kepada badan hukum nirlaba atau yayasan untuk mengatur sendiri pengelolaan bidang non-akademik seperti pengelolaan keuangan, pengelolaan kepegawaian, serta pengelolaan aset dan sarana.
Karenanya, pengelolaan PTS diserahkan sepenuhnya kepada badan hukum nirlaba yang mendirikannya. Akan tetapi untuk bidang akademik tetap mengacu pada standar nasional pendidikan tinggi yang ditetapkan pemerintah.
Tata Kelola Perguruan Tinggi Berbasis Manajemen Warung
Perguruan Tinggi swasta yang dikeola oleh yayasan harus mempunyai prinsip nirlaba. Prinsip ini wajib ditaati oleh seluruh perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, sehingga setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh perguruan tinggi tidak bertujuan untuk mencari keuntungan.
Apabila ada sisa hasil dari kegiatan, seluruhnya harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya dosen, prasarana dan sarana, serta peningkatan mutu layanan akademik dan nonakademik perguruan tinggi.
Berbeda dengan Tata Kelola Perguruan Tinggi menuju persaingan global, kebijakan perguruan tinggi dibuat bukan berdasarkan statuta atau UU Dikti melainkan dibuat berdasarkan like and dislike dan isu yang beredar.
Tata Kelola ini mengutamakan keuntungan yang didapat daripada dimanfaatkan untuk meningkatkan sumberdaya, prasarana dan sarana serta peningkatan layanan akademik maupun akademik perguruan tinggi.
Terkait Gaji Dosen Tetap yang seharusnya berada di atas Upah Mininum Regional suatu daerah pun ditabrak, intinya mengakali bahwa ratio dosen dan mahasiswa harus dibawah 1 : 40. Padahal suatu Dosen untuk menempuh Pendidikan Starata – 2 membutuhkan waktu, tenaga, serta persiapan financial yang tak sedikit.
Saat ini masih ada kampus PTS yang menggaji dosen tetapnya dengan jumlah dibawah standar upah minimum. Bahkan ada gaji pokok dosen tetap PTS yang 0 rupiah meskipun di dalamnya SK nya ada penyetaraan upah Dosen Tetap. Gaji sang dosen yang mulia jauh dengan rendah gaji buruh bangunan yang juga sangat mulia.
Jika upah minimum regional atau provinsi menetapkan minimal 3 juta rupiah maka terdapat gap yang sangat lebar dengan gaji dosen PNS dengan golongan IIIB. Artinya dosen swasta sangat tidak dihargai dalam sistem pengajian.
Gambaran ini tentu sangat memilukan dosen PTS. Dengan beban kerja yang sangat banyak mulai sks wajib mengajar, penelitian, kegiatan pengabdian masyarakat, dan bimbingan mahasiswa yang semua itu tidak mendapatkan support anggaran yang memadai dari pihak kampus. Bahkan dosen cenderung didorong untuk mencari sendiri pendanaan. Sedangkan ketika ada hasilnya justru kampuslah yang lebih banyak menikmati.
Kondisi tersebut telah memberikan dampak tidak baik bagi semangat dosen PTS untuk mengabdi kepada dunia pendidikan. Masa iya dosen tidak boleh menerima gaji yang layak dari PTS. Dan mengapa pemerintah hanya menyediakan serdos saja bagi dosen PTS? Sementara disisi lain Kementerian terkait meminta dosen untuk menghasilkan sebanyak-banyaknya artikel ilmiah.
Dosen juga manusia, mereka butuh makan, biaya hidup dan membiayai keluarga. Tidak mungkin dosen akan fokus pada tugasnya jika masalah kesejahteraan mereka dan keluarganya tidak ada yang memikirkan, atau apakah dosen swasta harus menunggu sampai jadi lektor dulu baru dapat haknya ?. Semoga semua stakholder memikirkan hal ini demi pendidikan yang berkualitas dan SDM Indonesia dapat bersaing di kancah internasional.
Penulis : Muhammad Yusuf, S,sos ., M.M
Dosen STIA Bagasasi Bandung


Komentar Klik di Sini