KLATEN-METROPAGINEWS.COM ||
Sebuah Majelis Dzikir dan Yasinan Doa Bersama, di laksanakan warga yang di gelar oleh keluarga besar Ibu Endangsih Widiyanti dan adiknya yakni Bapak Gatot Priyanta, guna memperingati Haul Almarhum Bapak Soeripto Suro Sudarso dan Almarhum Ibu Sri Subarti, sekaligus mendoakan Almarhum Kakak & Adiknya yakni Almarhum Ibu Umi Purwani dan Almarhum Bapak Hartono, beserta Almarhum Bapak Indradi Pengging, serta Almarhum Ibu Erma di kediaman keluarga besar Bapak Gatot Priyanta, Kuncen Gg Tedjowati No 04, Kuncen Rt 04 Rw 03 Delanggu Klaten. ( 07/12/2024 )
Sebelumnya dari semalam sudah ada rewangan kecil, atau persiapan memasak masakan oleh ibu ibu dan warga sekitar guna kegiatan yang akan digelar malam ini, sementara bapak bapak dan anak muda mempersiapkan dopo, atau atap peneduh guna melindungi tamu undangan dari hujan, serta persiapan sound dan lain sebagainya, disinilah rasa toleransi dan kebersamaan antar warga benar benar dirasakan dalam sebuah kampung kecil yang penuh kerukunan dan harmonis.
Acara dibuka oleh Bp Ngatiman, lalu disambung dengan Sambutan dari Ketua Rw 03 Desa Delanggu yakni Bapak Drs.H, Agus Jaka Sriyono,SIP dan selanjutnya pembacaan doa oleh Bapak Muhammad Darussalam S.Ag. Kasi Pelayanan Dan Kesejahteraan Masyarakat, hingga sesaat kemudian disusul dengan pembacaan doa surah Yasin juga tahlil serta sholawatan bersama seluruh undangan yang hadir,
Kegiatan seperti ini adalah merupakan sebuah tradisi turun temurun dari sebagian besar masyarakat muslim di Jawa pada umumnya atau nasional, serta di masyarakat Desa Delanggu, Kabupaten Klaten, khususnya, di mana juga merupakan salah satu Desa Ramah Budaya yang menjunjung toleransi serta tradisi dan kearifan lokal.
Karenanya akulturasi budaya begitu terasa di daerah dengan kultur masyarakat kolektif yang masih kental ini, Pak Suroto salah seorang Takmir Mushola Al’ Mustofa di Rt 04 Rw 03 Kuncen, Delanggu, mengatakan ( 07/12/2024 ) ” Awalnya setelah ajaran Islam tersiar, tradisi mendoakan arwah leluhur pun mengalami perubahan, rapalan mantra oleh nenek moyang terdahulu, di gantikan oleh bacaan Surah Yasin, yang disertai dengan tahlil, budaya ini sempat menghilang di masa orde baru, namun saat ini telah kembali dan banyak di lakukan khusunya di masyarakat pedesaan, ” Paparnya.
Pasca selesainya doa kemudian sebagai penghormatan tuan rumah acara di lanjutkan dengan jamuan makan malam bersama seluruh undangan, yasinan telah menjadi sebuah kebudayaan dalam kehidupan sosial, sebab yasinan juga merupakan sarana untuk bersosialisasi, sekaligus menjalankan anjuran agama yang bersifat normatif.
“Pada acara Yasinan itu, warga Desa biasanya tergerak untuk turut berpartisipasi sebagai bentuk adaptasi agar diterima di lingkungannya, dan sudah menjadi pandangan umum bahwa mereka yang tidak ikut andil di dalam yasinan, akan dianggap atau di cap cacat sosial, meski tidak berlaku pada semua daerah, namun kebanyakan begitulah adanya, ” papar Mas Bambang ( 07/12/2024 ) penjaga sound mixer yang kebetulan juga merupakan salah seorang tokoh bapak muda di Rt 04 yang seringkali rajin membagikan undangan yasinan bila ada salah seorang warga ada yang mau menggelar kegiatan yasinan.
Sebagai simbol ketaatan beragama, meski tidak secara keseluruhan umat muslim melakukan tradisi ini, namun yasinan adalah merupakan wujud ajaran ber’amaliah dalam Islam, yakni bersedekah, hal ini mengacu pada kesiapan tuan rumah dalam melayani tamu undangan, dalam hal ini jamaah yasin.
Jamuan yang disediakan oleh tuan rumah, biasanya berupa pelaksanaan makan bersama selepas yasinan, kadang pula, tuan rumah menyediakan bingkisan jajanan pasar untuk diberikan kepada jamaah yasin, hal ini menunjukkan bentuk muamalah berupa penghormatan kepada tamu, faktor tersebutlah yang merupakan salah satu faktor menjadikan yasinan tetap langgeng di kalangan masyarakat sebagai wujud penyatuan identitas.
Bp Wiro Sasono S.Ag. yang memberi tauziah di tengah tengah kegiatan, menjelaskan saat yasinan berlangsung, arwah-arwah leluhur di doakan, dalam hal ini berupa pembacaan Surah Al-Fatihah, artinya, esensi menjaga relasi dengan para leluhur tetap dijalankan, hal ini juga mengarah pada ajaran Islam, bahwa salah satu pahala yang terus mengalir meskipun seseorang itu telah meninggal ialah dalam bentuk doa anak yang saleh, hal tersebut lah yang menjadi dasar latar belakang dari keluarga besar dalam menggelar kegiatan malam ini, ” paparnya.
Akulturasi ini menunjukkan bahwa masyarakat di Jawa bersifat terbuka terhadap tradisi-tradisi baru, keterbukaan itu terjadi melalui proses yang di bentuk, di sosialisasikan, di konstruksi’kan dan di ulang-ulang, hingga tanpa di sadari, sudah menjadi identitas baru dalam tatanan masyarakat Jawa, khususnya Jawa Tengah.
Pada masa selanjutnya, identitas tersebut di rawat sebagai kearifan lokal yang mencirikan suatu bangsa yang beragama, Yasinan pun sudah tentu merupakan tanda kultural bagi masyarakat Islam-Jawa, khususnya di wilayah wilayah pedesaan, seperti halnya di Delanggu sendiri, masyarakat terbukti telah berupaya guna menjaga identitasnya dengan tetap melaksanakan tradisi yasinan sebagai warisan orang-orang terdahulu.
( Pitut Saputra )