OPINI – METROPAGINEWS.COM || Di tengah pusaran globalisasi saat ini, ada pelbagai macam perubahan terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat, pola pikir dan pengetahuan yang dimiliki manusia menjadikan peradaban selalu berkembang dan terus berkesinambungan dari waktu ke waktu.
Benar seperti dikatakan oleh Herakleitos yang adalah filsuf Yunani kuno pra-sokratik yaitu Panta rei yang artinya tidak ada yang tidak berubah, semuanya mengalir, masyarakat sewaktu-waktu bergerak dan berubah. Didukung oleh karakteristik manusia yang adalah mahkluk yang suka mencari tahu, tentulah menjadi hal yang wajar apabila peradaban manusia terus maju dan berkembang. Ada banyak contoh kongkret yang dapat kita saksikan secara bersama antara lain: pola pikir manusia yang semula bersifat irasional kini menjadi pola pikir yang sangat rasional, berkembangnya teknologi-teknologi muktahir seperti komputer atau handphone yang sangat canggih, dan tentunya membantu manusia dalam dunia pekerjaan. Namun, di sisi lain dengan adanya kemajuan teknologi, ternyata ada pula manusia yang salah dalam memanfaatkannya sehingga dapat merugikan manusia itu sendiri.
Di era digital yang serba berteknologi seperti saat ini sering terjadi penyimpangan-penyimpangan dengan memanfaatkan teknologi. Penggunaan teknologi komputer telah menjadi media dalam melakukan tindakan kejahatan atau dalam bahasa eksisnya sering disebut dengan cybercrime. Ada pelbagai jenis tindakan yang dianggap sebagai tindakkan cybercrime, antara lain: phishing, serangan ransomware, carding, cracking, OTP Fraud, kejahatan konten, serta yang sedang marak terjadi dan hangat dibicarakan di dunia maya yaitu cyberbullying.
Dampak cyberbullying:
Cyberbullying atau yang disebut perundungan online adalah tindakkan perundungan yang dilakukan oleh seseorang dengan media sosial sebagai saluran pembulian. Cyberbullying sering kali menyerang remaja ataupun anak-anak. Tindakkan perundungan ini pada umumnya dilakukan dengan meyebarkan data pribadi dari korban dan diselingi ujaran kata-kata hinaan sehingga korban merasa minder bahkan mengalami down mental. Memang pada dasarnya tindakkan cyberbullying ataupun tindakkan cybercrime lainnya menunjukkan bahwa manusia memiliki pengetahuan yang sangat baik dalam menguasai teknologi namun wajar bila dengan kemampuan yang dimiliki malah dimanfaatkan untuk ego pribadi dengan mengorbankan orang lain? Dilansir hasil penelitian terakhir yang dilakukan oleh Center for Digital Society bertajuk Teenager-Related Cyberbullying Case In Indonesia per Agustus 2021 terhadap 3.077 siswa SMP dan SMA usia 13-18 dari 34 provinsi di Indonesia terkait dengan cyberbullying, diperoleh sebanyak 1.182 siswa (38,41 persen) menjadi pelaku,sementara sebanyak 1,895 siswa (45,35 persen) mengaku pernah menjadi korban.
Remaja atau generasi muda adalah tunas emas bangsa. Terutam para remaja yang saat ini berada di era digital. Keberadaan para generasi muda ini menjadi faktor penting yang mesti diperhatikan. Rusaknya generasi muda akan kehadiran dari cyberbullying menjadi problematika yang menghantui bangsa dan negara. Terganggunya kesehatan mental para remaja tentu akan berpengaruh pada pola pikir dan tindakkan mereka. Menurunnya rasa percaya diri, malu, menjadi kurang bersosialisasi, depresi, bahkan menurunnya motivasi belajar dari setiap remaja yang sebagian besar masih berstatus pelajar, merupakan dampak negatif dari cyberbullying. Upaya penanganan
Beberapa tahun lagi Indonesia akan memperoleh bonus demografi sekitar 2030-an dan juga akan menjadi Indonesia emas di tahun 2045. Jika generasi muda rusak maka akan bonus demografi yang akan diperoleh Indonesia bukanya memberikan dampak positif melainkan dampak negatif. Oleh sebab itu maka keberlanjutan zaman bergantung kepada mereka sebagai generasi penerus bangsa. Kekhawatiran akan dampak buruk terhadap bangsa saat bonus demografi dan Indonesia emas di tahun 2045 menjadi tuntutan setiap orang untuk bertanggung jawab secara bersama-sama demi mengatasi mimpi buruk tersebut. Pemerintah sebagai pemegang kekusaaan mesti menjadi iniisiator untuk mendorong lembaga-lembaga edukasi agar sekiranya melakukan sosialisasi terlebih khusus kepada para remaja untuk membahas terkait upaya-upaya yang dapat dilakukan demi mengatasi cyberbullying. Pemerintah, melalui Komisi Perlindungan Anak Indonesia mesti menggerakkan para satuan tugas yang dikhususkan untuk mengatasi kasus cyberbullying.
Di sisi lain penanganan cyberbullying di Indonesia tidak hanya mengharapkan usaha dari pemerintah sebagai inisiator. Setiap orang dan bahkan kelompok terkecil dalam ruang masyarakat seperti keluarga mesti terlibat aktif dalam membantu menangani cyberbullying. Kehadiran dari orang tua dan kerabat terdekat sebagai suatu keluarga sangatlah berpengaruh terhadap para remaja. Keluarga adalah tempat awal seorang dapat menumbuhkembangkan pola pikirnya. Tutur kata dan tindakkan yang dilakukan oleh seseorang bersumber dari kebiasaan dan juga arahan dari kedua orang tua.
Sangatlah sering apabila seorang remaja melaporkan kepada keluarganya untuk mengatasi permasalahan yang dialami oleh remaja tersebut, apalagi bila adanya relasi internal yang cukup baik antara remaja dengan keluarganya. Relasi yang baik antara remaja dan keluarga memicu seorang remaja untuk berani mengutarakan permasalahannya. Dalam situasi inilah pendekatan secara psikologi dapat diterapkan, sehingga baik itu peluang pencegahan sebelum terjadi maupun penanganan setelah terjadinya tindakan cyberbullying dapat bekerja secara efektif.
Oleh: Yohanes Bertholens Kiuk Asal sekolah: SMAK Seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo