OPINI – METROPAGINEWS.COM || Desas-desus pemilu serentak 2024 menjadi topik utama dalam semua berita. Pembahasan regulasi hingga perkiraan kandidat terus berlanjut. Status Indonesia sebagai Negara demokrasi rupanya tetap dipertahankan.
Dari semua ulasan yang muncul di media, salah satu regulasi proses pemilu serentak 2024 menjadi topik diskusi yang hangat. Polemik ini adalah keputusan MK tentang diperbolehkannya kampanye politik di lingkungan sekolah bagi para kandidat pemilu 2024. Kandidat eksekutif maupun legislative. Keputusan MK ini dilandasi konstitusi yang tertera dalam UU pasal 280 ayat (1) huruf h tentang kampanye.
Interpretasi terhadap konstitusi ini memicu kontroversi. Pasalnya, bunyi undang-undang tersebut mengandung tafsiran yang ambigu. Pertama ia berisi larangan untuk berkampanye politik di lingkungan sekolah. Tetapi prasyarat tertentu memberi karpet merah bagi larangan tersebut untuk memperoleh kemungkinan pelaksanaannya.
Polemik ini sebenarnya tidak berpotensi memicu kontroversial, apabila penafsirannya tidak didasari oleh landasan kepentingan politis. Pemegang tongkat perundang-undangan telah menginstrumentalisasi konstitusi.
Secara konstitusional-politis terlihat karpet merah yang memberi ruang lain bagi pelaksanaan politik yang meresahkan bagi stabilitas perpolitikan, termasuk efeknya terhadap instansi lain. Interpretasi yang mencuat tiba-tiba ini disadari sebagai tindakan politis. Alasannya, penafsiran terhadap undang-undang ini terlambat. Penafsirannya dilakukan ketika ajang pemilu serentak telah dekat.
Selain itu, kepentingan yang terlihat jelas dari segi politis adalah perebutan takhta. Indonesia dengan fenomena bonus demmografi-nya memantik politisi untuk mendapat dukungan dari kelompok rakyat yang sebagian besar adalah generasi muda yang sedang bersekolah.
Aktivitas politik di lingkungan sekolah ini sebenarnya mengarah pada tujuan politis yang salah. Pelaksanaan kampanye politik di lingkungan sekolah dianggap sebagai aktivitas politis yang tidak perlu. Beberapa alasannya dapat dilihat dari argumentasi berikut.
Pertama, kampanye politik bukan sosialisasi ilmu politik di lingkungan pendidikan. Merujuk pada pada pengertian pemilu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kampanye memiliki arti: gerakan (tindakan) serentak (untuk melawan, mengadakan aksi, dan sebagainya);kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi politik atau calon yang bersaing memperebutkan kedudukan dalam parlemen dan sebagainya untuk mendapat dukungan massa pemilih dalam suatu pemungutan suara.
Merujuk pada pengertian tersebut, Nampak bahwa kampanye bukan sebuah bentuk sosialisasi ilmu poltik. Pada dasarnya kandidat mempropagandakan visi-misinya kepada peserta didik untuk kepentingan pribadinya.
Hal yang ingin dicapai oleh kandidat adalah dukungan dari peserta didik yang di pengaruhi. Definisi ini melenceng dari aspek sosialisasi yang berfungsi untuk memperkenalkan sesuatu tetapi bukan untuk tujuan politis-personal, melainkan kepentingan umum. Oleh karena itu, hendaknya pengaruh politis tidak menciderai identitas lembaga pendidikan. Kepentingan politis mesti berada pada tempatnya, tanpa mengganggu aktivitas lain. Kepentingan politik tidak mesti dibawa pada ranah Pendidikan yang beresensi lain.
Kedua, kampanye politik di lingkungan sekolah memicu polarisasi dalam tubuh lingkungan pendidikan. Dilansir dari Republik, (13/11), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyesalkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 65/PUU-XXI/2023 yang membolehkan kampanye politik di tempat pendidikan. Komisioner KPAI Sylvana Apituley menilai, sekolah seharusnya dijaga agar tetap menjadi ruang publik yang netral dari aktivitas politik elektoral yang sarat dengan kepentingan personal dan kelompok.
Netralitas yang dijaga adalah kondisi yang tidak menandakan adanya polarisasi dalam tubuh pendidikan. Artinya, simpati terhdap kandidat, tidak menciptakan perbedaan pandangan yang berdampak pada rusaknya relasi antarsiswa. Terutama membebaskan para peserta didik dari kondisi disintegrasi yang menyebabkan terhambatnya proses pendidikan, bahkan memicu konflik.
Ketiga, menjaga lembaga pendidikan dari politik praktis. Artinya, lembaga pendidikan tidak menjadi lahan politk. Peserta didik tidak menjadi agen politik yang berpotensi pada praktik kotor dalam pemilu. Dengan keterlibatan terhadap politik praktis peserta didik cendrung jatuh dalam politik kotor, misalnya politik identitas bahkan politik uang. Netralitas Lembaga Pendidikan sebagai Lembaga sosial transfer nilai menjadi rusak.
Muhadjir Efendy menyayangkan keputusan ini dengan alasan lahan kampanye yang terlalu banyak. “Ada banyak tempat untuk melakukan kampanye, tanpa menggangu kondisi kondusif untuk peserta didik beraktivitas di lingkungan sekolahnya,” ungkapnya melalui Kompas.id (26/11).
Kepentingan politis menjadi sangat buta bila berorientasi pada takhta dan kekuasaan. Dengan demikian, Lembaga Pendidikan akan menjadi lahan politik yang tidak netral. Keterlibatan peserta didik dikhawatirkan akan merusak citra Lembaga Pendidikan sebagai Lembaga yang netral.
Terlepas dari potensi intelektual yang mumpuni dari peserta didik untuk mengkritisi fenomena politik, ‘kepentingan adalah segala-galanya dalam politik.’ Karena kepentingan inilah yang akan membawa Lembaga Pendidikan pada politik praktis. Dengan sendirinya Lembaga Pendidikan jatuh pada konsep politik yang salah.
Dari beberapa alasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa netralitas lembaga pendidikan dalam proses menuju pemilu serentak 2024, hendaknya dijunjung tinggi. Regulasi yang ambigu tidak perlu menyebabkan keresahan di dalam proses pemilihan.
Lembaga pendidikan mesti bersih dari praktik politik serta dampak negatife dari kampanye politik yang berpotensi mengganggu proses pendidikan; melahirkan polarisasi serta potensial konflik karena berbeda pilihan. Ada banyak lahan untuk menjadi lahan politik; lembaga pendidikan mesti bebas dari politik yang bersifat merusak citra pendidikan.