OPINI – METROPAGINEWS.COM || Reformasi 1998 merupakan titik awal di mana bangsa Indonesia mulai menapaki jalan baru. Sebuah wajah baru muncul setelah runtuhnya sebuah kekuasaan yang dipenuhi dengan krisis yang ada.
Kemunduran ini melibatkan ketidak adilan politik, hukum, dan ekonomi. Korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela diberbagai sektor, dan pemerintahan orde Baru dianggap tidak sesuai dengan nilai pancasila. Kemunduran dalam segala aspek inilah yang memicu terjadinya demonstrasi dan berakhir Reformasi.
Masyarakat berharap Reformasi menjadi wajah baru untuk terjadinya sebuah perubahan. Lantas apakah demikian? Paskah reformasi 1998 Indonesia telah melalui berbagai proses demokrasi.
Setiap tahun kita melakukan pemilihan pergantian presiden dan menyaksikan bagaimana kebebasan bersuara menggema demi memilih pemimpin yang baik. Namun apakah itu membawa perubahan?
Setiap tahun mengganti pemimpin dengan visi misi jelas. Namun, nyatanya visi misi itu hanya halusi nasi tanpa aksi. Suara warga serasa basi tanpa ada yang benar-benar mewakili dalam proses politik.
Kekecewaan terhadap wakil rakyat mulai membengkak elite politik sibuk mengisi kantong sendiri tanpa memikirkan masyarakat. Politik uang merajalela, menandakan demokrasi butuh reformasi.
Demokrasi yang didasarkan pandangan bahwa kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, kini harus berjalan pincang karena tidak sesuai dengan kenyataannya. Kita harus melakukan reformasi politik, bukan sekadar pemilihan untuk menggantikan wajah yang hanya duduk di tempat kekuasaan.
Masalah Dalam Situasi Politik Saat Ini
Situasi politik Indonesia saat ini sedang mengalami kepincangan. Isu korupsi, politik uang, janji palsu kini menguasai panggung demokrasi kita. Gambaran ini dapat dilihat Dalam teori oligarki Robert Micheles yang menjelaskan bahwa semua organisasi dan bahkan oraganisasi yang bersifat demokratis pada akhirnya akan dikuasai oleh segelintir elit.
Dengan pendasaran bahwa organisasi yang besar membutuhkan birokrasi yang besar untuk berfungsi namun pada akhirnya menempatkan kekuasan pada seorang pemimpin, tetapi para pemimpin cendrung menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan mereka sendiri dan berusaha menaikan status mereka.
Pada saat ini panggung demokrasi seakan dijadikan panggung sandiwara yang dikuasai oleh segelintir elite, yang hanya tahu mencari kekuasaan bukan kedamaian. Sehingga tak heran jika kredibilitas masyarakat kepada lembaga politik semakin menurun.
Sistem yang seharusnya menjadi jembatan bagai masyarakat untuk berpartisipasi, kini justru berubah menjadi panggung bagai pemimpin untuk merebut kekuasaan tanpa akuntabilitas.
Guru besar filsafat Prof. Fransisco Budi Hadirman menyampaikan bahwa Indonesia sedang mengalami krisis kepemimpinan. Krisis ini ditandai dengan langkahnya negarawan sejati, justru melimpahnya politisi yang hanya mengejar kekuasaan.
BACA JUGA : Kasus Perampokan di Kedungreja Disidangkan, Tak Ada Saksi yang Meringankan
Dalam hal ini Prof. Fransisco Budi Hadirman menjelaskan bahwa, seorang pemimpin itu harus bersifat negarawan sejati yang mencintai dan mampu merawat publik, bukan untuk kepentingan pribadi maupun golongan.
Prof. Fransisco Budi Hadirman juga menjelaskan perbedaan antara negarawan dan politisi mengandung mutan moral. Politisi itu partisan, sedangkan negarawan non partisan, republikan. Rent Seeking menegaskan penyalahgunaan kekuasaan oleh aktor politik adalah tindakan pejabat yang memanipulasi kebijakan demi meraup keuntungan pribadi.
Saatnya Reformasi Politik
Situasi politik saat ini dipenuhi warna Warni, korupsi, krisis ekonomi, demonstrasi dan sebagainya. Krisis kini menghiasi panggung politik kita. Sehingga saatnya kita melakukan reformasi politik guna menyelamatkan demokrasi dari kepincangan dan kehancuran dalam diam.
Prinsip ada orang dalam dan sistem yang hanya melayani mereka berdompet tebal, akan terus menciptakan ketimpangan sosial dan krisis kepercayaan masyarakat.
Dengan Reformasi politik kita dapat menyelamatkan panggung demokrasi, memperbaiki kualitas pemilu Serta membuka ruang kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pesta demokrasi. Sehingga pergantian pemimpin memiliki makna yang sesungguhnya bukan hanya menjadi rutinitas belaka.
Strategi Reformasi politik yang pertama adalah, menjadikan sistem kepartaian yang transparan, demokratis dan terbuka. Dalam hal ini sistem kepartaian harus semua masyarakat dan tidak hanya melayani kaum elite yang memiliki modal besar untuk mengikuti pemilu. Aturan yang di tetapkan juga tidak hanya menguntungkan kelompok tertentu.
Kedua, diperlukan reformasi pendanaan politik. Langkah ini dilakukan untuk memutuskan ketergantungan terhadap oligarki. Saat ini banyak pemimpin yang terpilih bukan karena kualitasnya namun dipilih karena memiliki modal yang besar. Tingginya biaya untuk masuk partai politik membuat masyarakat yang berkualitas tidak bisa berpartisipasi. Sehingga oligarki mengambil peran untuk menentukan pemimpin dan hanya memikirkan kepentingan kelompok mereka.
Ketiga, harus ada pembekalan pendidikan politik bagai masyarakat agar terhindar dari manipulasi saat pemilu. Banyak masyarakat yang belum mampu menentukan siapa pemimpin yang layak dipilih. Sehingga kesempatan ini digunakan oleh pihak tertentu untuk membeli suara, sehingga masyarakat memilih berdasarkan imbalan uang yang mereka terima bukan berdasarkan kualitas calon.
Sehingga muncul pemimpin yang tidak berkualitas dan hanya memperhatikan dompet pribadi. Pesta pergantian pemimpin bukan hanya sekedar melahirkan pemimpin yang baru, tetapi juga harus dipilih berdasarkan sistem politik yang adil, akuntabel dan partisipatif.
Oleh karena itu saatnya kita membenah sistem politik kita agar melahirkan pemimpin yang berkualitas, dan dapat mengamalkan nilai-nilai pancasila.
Oleh : Â WILFRIDUS KAMANTO
Mahasiswa IFTK Ledalero


Komentar Klik di Sini