Opini – metropaginews.com || Dikenal sebagai salah satu negara yang menggilai sepakbola, mengendalikan tumbuhnya suporter sepakbola di tanah air bukanlah perkara sepele. Apalagi hampir di setiap kota, ada sebuah kesebelasan sepakbola yang amat dibanggakan warganya.
Penulis juga merupakan supporter sepakbola yang berbasis di Ibu kota Jawa Barat, Sejak dikenalkan persib oleh lingkungan sekitar, dari kelas 1 SD hingga sekarang, Hampir 22 Tahun tidak pernah satu pertandingan pun terlewat baik menonton lewat televisi ataupun datang langsung ke stadion.
Bicara tentang suporter, tentu sulit rasanya untuk menepikan sikap fanatik.
Fanatisme berlebihan yang menimbulkan korban jiwa. Sesuatu yang tidak diinginkan oleh siapapun Ketika supporter datang ke stadion untuk mendukung team kebanggaan, malah berakhir dengan duka dengan kehilangan nyawa nya. Padahal menonton ke stadion merupakan suatu hiburan untuk melepaskan penat.
Secara umum, kita semua tahu bahwa kompetisi sepakbola di Indonesia diikuti oleh tim yang memiliki basis pendukung yang masif dan fanatik. Misalnya saja di Liga 1, ada Aremania (Arema FC), Bobotoh (Persib), Bonek (Persebaya), Brigata Curva Sud (PSS), The Jak (Persija).
Namun fanatisme berujung duka, sepak bola tanah air berduka. Kata-kata itu mencuat di berbagai linimassa media sosial maupun di status per pesan. Dari kata yang di tulis oleh seorang temen itu awal tak paham apa yang di maksud. Namun apa yang disampaikan tentunya menggambarkan kepedihan yang begitu hebat.
Dan ternyata benar di berbagai status hingga media sosial petaka di pertandingan sepakbola itu terjadi. Ratusan suporter menjadi korban bahkan ada yang meninggal dunia. Jumlah korban per hari ini mencapai 130 orang. Tragedi ini merupakan duka sepakbola kedua terbesar sepanjang sejarah.
Tragedi terbesar terjadi di Peru pada 24 Mei 1964. Saat itu, Estadion Nacional menggelar babak kualifikasi kedua Olimpiade Tokyo antara Peru vs Argentina.Kerusuhan menjadi semakin parah dan menyebabkan 328 orang tewas karena sesak napas dan/atau pendarahan internal. Bahkan disebutkan kemungkinan jumlah korban tewas dalam peristiwa tersebut lebih banyak.
Insiden di Kanjuruan semestinya bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua. Ratusan korban jiwa bukan jumlah yang sedikit. Ini terkait nyawa. Janganlah ada rivalitas menjadi alasan yang ujung-ujungnya anak negeri yang dirugikan. Karena tidak ada kemenangan yang sebanding dengan nyawa.
PSSI sebagai federasi resmi yang menaungi sepakbola Indonesia seharusnya berbenah dengan tragedi ini, Peristiwa ini akan menjadi saksi bisu kelamnya sepakbola Indonesia di bawah kepemimpinan Bapak Ketua Umum yang sedang sibuk sibuk nya pansos di media sosial. Ketua PSSI seharusnya focus terhadap kemajuan sepakbola Indonesia, membenahi sistem pengamanan baik di luar stadion maupun di dalam stadion, bukan sibuk lipstick untuk mencalonkan diri sebagai Gubernur di salah satu Provinsi di Pulau Jawa.
Entah kedepan bagaimana sanksi yang diberikan oleh FIFA terkait musibah ini, namun jangan dulu berpikir kesana, sebaiknya seluruh Indonesia berduka atas musibah ini. Semoga ini menjadi tragedi terakhir persepakbolaan di tanah air. Waktunya bergandengan tangan, bersatu atas nama Tumpah Darah Indonesia. Tidak ada Sepak bola Seharga Nyawa.
Penulis : Muhammad Yusuf, S,sos ., M.M
Dosen STIA Bandung