OPINI – METROPAGINEWS.COM || Konflik antara Israel dan Palestina(hamas) adalah salah satu konflik yang menjadi konflik kelam dunia saat ini. Konflik ini telah terjadi lebih dari 1 abad. Dilansir dari CNBC Indonesia, perang antara Palestina (Hamas) dan Israel terjadi per 7 Oktober 2023 lalu, masih berlangsung hingga sekarang.
Konflik ini bermula dari Palestina (Hamas) yang menguasai Gaza meluncurkan serangan besar-besaran ke wilayah Israel. Serangan ini kemudian dibalas Israel dengan deklarasi perang, di mana Israel menyerbu Gaza dari berbagai sisi. Berbeda dari konflik yang terjadi sebelum-sebelumnya, konflik ini menjadi salah satu yang terparah, karena kedua negara mengerahkan kekuatan militernya untuk saling beradu. Kekuatan militer menjadi faktor utama kondisi perang yang ada karena kedua negara kini memiliki teknologi perang yang sangat mutakhir.
Di tengah perang yang masih berlanjut, satu hal yang menjadi problem baru, yaitu pihak ketiga yang terlibat. Pihak lain yang dimaksud adalah orang-orang, golongan, organisai, bahkan negara yang secara langsung memihak salah satu dari kedua negara yang sedang berperang. “Keberpihakan” hal inilah yang terjadi saat ini.
Sebagai problem baru, hal ini perlu ditilik lebih lanjut terkait dampak dari keberpihakan pihak ketiga yang seringkali membuat konflik semakin rumit dan sulit untuk diselesaikan. Keberpihakan ini menjadi nyata, dilihat dari tanggapan beberapa negara terhadap gencatan senjata di Gaza dan bantuan yang diberikan kepada kedua negara.
Dilansir dari detiknews, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sempat melakukan pertemuan Sesi Khusus Darurat ke-10, Jumat 27 Oktober 2023 untuk membahas tentang wacana gencatan senjata di Gaza. PBB telah mendata 179 negara dan tanggapan mereka terhadap gencatan senjata di Gaza.
Terdapat 14 negara yang menolak gencatan senjata di Gaza. Pihak ini meliputi negara seperti Austria, Israel, hingga Amerika Serikat. Kemudian, 120 negara lainnya mendukung gencatan senjata di Gaza. Pihak ini meliputi Indonesia, Malaysia, Arab Saudi, Spanyol, hingga Meksiko. Sementara itu, 45 negara lainnya tidak memberikan suara apapun. Pihak ini meliputi Australia, Kanada, Jerman, hingga India.
BACA JUGA : Kasus Perampokan di Kedungreja Disidangkan, Tak Ada Saksi yang Meringankan
Dilansir dari CNBC Indonesia, ada beberapa negara yang telah terlibat dalam memberikan bantuan secara langsung kepada Israel. Negara yang terlibat dalam memberikan bantuan kepada Israel adalah Amerika Serikat, Inggris dan Jerman. Dari Amerika serikat, Menteri Pertahanan Lloyd Austin, sehari setelah serangan 7 Oktober 2023 memberkan bantuan kepada Israel berupa bantuan militer.
Dalam pernyataanya, ia memerintahkan pemindahan Kelompok Serangan Kapal Induk USS Gerald R. Ford ke Mediterania Timur yang lebih dekat ke Israel. Pasukan tersebut mencakup kapal induk, sebuah kapal penjelajah berpeluru kendali, dan empat kapal perusak berpeluru kendali.
Sedangkan Palestina sendiri mendapatkan bantuan dari berbagai negara. Dilansir dari NarasiTv, negara-negara yang ikut membantu Palestina adalah Qatar, Iran, Afrika Selatan, Arab Saudi, China, Indonesia dan Turki. Dari Turki pada 9 Oktober 2023, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan meminta Israel untuk menyetop pengeboman wilayah Palestina di Gaza. Ia mengkritisi kebijakan Israel yang menyerang warga sipil tanpa pandang bulu dengan melakukan serangan udara di wilayah padat penduduk di Gaza. Ia juga memberikan tawaran dukungan Turki jika diminta memediasi penyelesaian konflik Israel-Palestina.
Berbagai jenis bantuan terus-menerus diberikan oleh negara yang terkait, baik kepada Israel maupun Palestina. Namun, pertanyaan pun muncul. Pertanyaannya adalah, apakah tindakan ini sejalan dengan semangat keadilan dan perdamaian yang seharusnya menjadi fokus upaya internasional? Dan apakah benar, adil jika pihak ketiga mendukung satu pihak tanpa mempertimbangkan hak-hak asasi manusia dan keadilan bagi pihak yang lain? Tidak dapat dipungkiri bahwa keberpihakan semacam ini telah menciptakan ketidakseimbangan yang merugikan, baik bagi rakyat Israel maupun Palestina.
Keberpihakan merupakan faktor luar menjadi sebuah krisis kemanusiaan, yang tidak memperhatikan HAM bagi pihak lainnya “negara yang tidak dibantu”. Dalam hal ini, keberpihakan seakan-akan mensahkan adanya perang dan mendukung keberlangsungan perang ini.
Pada akhirnya, keberpihakan hanya akan menjadikan perang ini kepada sebuah kehancuran yang sangat besar. Hemat saya keberpihakan merupakan krisis kemanusiaan dan dalam menilai konflik Israel-Palestina, perlu disadari bahwa memihak pada satu sisi saja tidak hanya tidak adil, tetapi juga dapat merugikan upaya perdamaian jangka panjang. Penting untuk pihak ketiga yang ada menjadi penengah antara kedua negara ini. Penengah yang dimaksud adalah menjadi pendamai dalam konflik yang terjadi. Keadilan bagi kedua negara harus dijunjung tinggi untuk terciptanya perdamaian antara kedua belah pihak.
Oleh : Alexander Noventino Lambut
Siswa Kelas XII Jurusan IPA SMAK Seminari st. Yohanes Paulus II Labuan Bajo