YOGYAKARTA – METROPAGINEWS.COM || Di tengah derasnya arus digitalisasi transportasi, nasib para pengemudi ojek online (ojol) sering terpinggirkan oleh dinamika pasar dan kebijakan yang kurang berpihak. Serikat Pengemudi Online Indonesia (SePOI) menegaskan bahwa perdebatan soal potongan aplikasi maupun kenaikan tarif tidak akan menyelesaikan masalah mendasar tanpa hadirnya regulasi yang memadai. Mereka mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) segera merampungkan Undang-Undang Transportasi Online agar ekosistem ini berjalan berkelanjutan, berkeadilan, dan terproteksi (04/07/2025).
Sejak tahun 2022, tarif dasar ojol di Indonesia praktis stagnan. Padahal, harga bahan bakar naik berkali-kali, suku cadang dan biaya servis terus melonjak, belum lagi inflasi bahan pokok yang memberatkan biaya hidup pengemudi dan keluarga mereka. Ketimpangan antara pendapatan kotor per trip dan beban operasional harian ini memunculkan tekanan ekonomi yang sangat serius. Rata-rata kenaikan harga BBM mencapai 10–20 % per tahun.
Sementara biaya servis motor naik 15–25 % sejak 2022, di sisi lain inflasi kebutuhan pokok menambah beban hidup dalam triwulan terakhir.
Tanpa peningkatan tarif sesuai inflasi dan variabel zonasi, produktivitas dan motivasi mitra ojol bisa menurun drastis.
Polemik potongan komisi aplikasi sebesar 10 % yang belakangan mengemuka di ruang publik. SePOI menilai isu ini hanya menghitung sebagian kecil kerugian pengemudi. Sementara variabel lain, seperti insentif musiman, struktur bonus yang berubah-ubah, dan kebijakan promosi, justru lebih berdampak pada pendapatan harian.
Mahmud Fly, Ketua Umum SePOI, menegaskan “Potongan aplikasi memang perlu dibahas, tapi itu bukan satu-satunya persoalan. Tanpa undang-undang yang jelas, negosiasi tarif dan komisi akan selalu bersifat ad hoc, tidak berkelanjutan.” terangnya.
Pemerintah dan DPR harus melihat keseluruhan struktur hubungan antara aplikator dan mitra, bukan hanya angka potongan semata.
Ketiadaan regulasi yang jelas Undang-Undang Transportasi Online menyebabkan pengemudi berada di posisi lemah secara hukum.
Beberapa aspek mendesak untuk segera diatur:
1. Perlindungan Kerja dan Sosial
Jaminan asuransi, cuti sakit, hingga dana pensiun sederhana yang dibiayai lewat kontribusi bersama penyedia aplikasi dan pemerintah.
2. Standar Keselamatan
Sertifikasi risiko, pelatihan keselamatan dasar, dan fasilitas pertolongan pertama yang wajib disediakan aplikator.
3. Penetapan Tarif Berkeadilan
Rentang tarif yang memperhitungkan zonasi, waktu puncak, dan tingkat resiko di jalan, agar pendapatan minimal layak.
4. Mekanisme Penyelesaian Sengketa
Badan independen untuk menerima aduan pengemudi, memediasi konflik dengan aplikator, dan menindak pelanggaran standar operasional.
Terpisah Wuri Rahmawati Juru bicara FDTOI saat dikonfirmasi mengatakan “Dengan kerangka hukum seperti tersebut, nasib pengemudi tidak lagi bergantung pada kebijakan bisnis sepihak aplikator. Belajar dari aksi nasional 20 Mei 2025 silam adalah puncak konsolidasi dari Forum Diskusi Transportasi Online Indonesia (FDTOI) yang mewakili 12 aliansi pengemudi di berbagai provinsi. Gerakan ini bukan spontan, merupakan hasil pertemuan berkala, diskusi akar rumput, dan musyawarah wilayah. Namun didalamnya kita berhasil memitigasi persoalan dan membuat kajian yang semestinya menjadi urgensi pemerintah karena merupakan representasi dari persoalan yang menuntut kejelasan sikap demi nasib jutaan driver online yang menggantungkan hidup di ranah transportasi online tersebut,” paparnya
Juru bicara FDTOI, Wuri Rahmawati, juga menegaskan “Kami bergerak untuk menunjukkan bahwa masalah ini bersifat lintas wilayah. Apa yang terjadi di Jakarta, Surabaya, Medan, Yogyakarta atau Denpasar sesungguhnya serupa. Tanpa aturan baku, ketidakpastian akan terus menghantui.” tegasnya
Aksi itu menuntut DPR agar memasukkan poin-poin standar perlindungan dalam RUU Transportasi Online dengan melibatkan perwakilan pengemudi.
Hadirnya UU Transportasi Online bukan hanya untuk pengemudi. Regulasi yang matang akan membawa manfaat berlapis. Dengan titik temu kepentingan seperti ini, dialog antara ketiga pilar, pemerintah, aplikator, dan pengemudi menjadi lebih konstruktif.
Demi percepatan pembahasan RUU Transportasi Online yang bisa ditempuh DPR RI.
Momentum digitalisasi transportasi online harus diiringi dengan landasan hukum yang kokoh. SePOI dan FDTOI telah membuktikan bahwa permasalahan ini adalah tanggung jawab bersama, bukan beban semata bagi pengemudi. DPR RI memiliki peluang emas untuk menunjukkan komitmennya pada keadilan sosial dengan segera mengesahkan Undang-Undang Transportasi Online.
“Tanpa regulasi, keuntungan ekonomi dari layanan digital berisiko menciptakan ketimpangan baru. Dengan regulasi yang komprehensif, Indonesia dapat mengukir model transportasi online inklusif yang menjadi teladan global. Kini saatnya legislatif mengambil langkah berani demi masa depan ekosistem ojol yang lebih adil, berkelanjutan, dan manusiawi.” pungkasnya.
( Pitut Saputra )
Komentar Klik di Sini