PURWOREJO – METROPAGINEWS.COM || Ternyata tidak mudah menjadi jurnalis, karena harus paham situasi, kondisi, dan lebih jeli terhadap apa yang sedang terjadi. Apalagi bila sang jurnalis ditugaskan di daerah konflik. Nyawa taruhannya.
Fery Santoro, jurnalis televisi RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) ini sedikit berbagi cerita untuk mengenang 20 tahun silam ketika bertugas di stasiun televisi itu.
Fery mengatakan, waktu itu tahun 2003. Ia bekerja sebagai cameraman news RCTI, dan ditugaskan meliput di daerah konflik di Banda Aceh, di mana saat itu tengah bergejolak pertempuran antara TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka).
Buat Fery, tugas pertama di Aceh itu sangat menyenangkan, karena baru menginjakkan kaki di kota yang dikenal dengan sebutan Serambi Mekkah. Namun, rasa was-was juga ada, karena Aceh lagi bergejolak.
Namun, dengan tekad yang bulat dan izin dari keluarga, ia berangkat ke Aceh bersama tim. Buat Fery, itu suatu pengalaman yang sangat berarti.
Selama seminggu liputan di Banda Aceh ia selalu ber-partner dengan reporter senior RCTI, Ersa Siregar. “Liputan terakhir kami ke daerah Langsa, meliput pengungsian dan pos TNI AL (Angkatan Laut) di Langsa, Lhokseumawe,” ujar Fery.
Dalam perjalanan pulang menuju Lhokseumawe, ada perasaan kurang tenang dalam hatinya, karena sepi dan sunyi, tanpa ada yang melintas satu pun. ‘Jalan hitam’, istilah mereka. Kalau kita bilang ‘jalan provinsi’.
Perasaan (tidak tenang) itu ternyata benar-benar terjadi, saat kendaraan berjalan dengan kecepatan 80 km per jam.
“Tiba-tiba kami dihadang oleh sekelompok orang bersenjata. Mereka keluar dari semak-semak,” serunya.
Kendaraan pun mengerem mendadak, “Ccccc… ttt!!!”
Rahmad Syah, sopir RCTI, menginjak pedal rem.
“Ya Allah, ada apa ini?” tanya Fery panik.
Belum terjawab pertanyaan Fery, pintu dibuka secara paksa, dan sopir disuruh turun oleh kawanan bersenjata itu, kemudi pun diambil-alih.
Gerombolan itu ada 6 orang, masuk semua ke mobil sambil menodongkan pistol. “Semua, nunduk kepala!!” teriak mereka.
Hati Fery campur-aduk, takut mati. Karena saat menunduk itu, ia masih sadar pistol diarahkan ke kepalanya.
Ia berpikir, jangan-jangan ini GAM. Fery dan Ersa Siregar, serta lainnya dibawa ke tengah kampung yang jauh.
“Kamu dari mana!?” bentak salah satu anggota kelompok bersenjata itu.
“Saya dari Jawa,” jawab Fery sambil lemas badan.
“Wah Jawa, besok pagi mati nih. Kompeni nih.”
“Pasti Pai (TNI.red) itu. Mata-mata tentara,” teriak mereka bersahutan.
Mendengar ancaman itu, Fery hanya bisa pasrah.
Berbekal kamera besar di tangan, kelompok bersenjata itu percaya kalau kami wartawan.
Di tempat lain, Panglima Perang GAM, Teuku Ishak Daud meminta bawahannya untuk merawat dan menjaga keselamatan kami.
Mendengar itu, Ersa dan Fery merasa lega. Tapi, hidup dalam penyanderaan baru saja dimulai…
“Kami selalu pindah-pindah demi menghindari kejaran TNI. Kalau dirasa tidak aman, kami harus melewati semak, menyeberangi sungai dan hutan belantara,” kata mereka.
Tidur pun beralaskan tikar, berbaring di samping macan kumbang harus kami lalui. Beruntung, tidak ada hewan buas yang menyerang kami.
“Bahkan, orang GAM menanawarkan kami tidur di alas ular itu. Sempat bergidik sih, tapi dia bilang jangan takut. Ternyata tidak apa-apa,” ujar Fery.
Di luar sana, sejumlah LSM, organisasi pers hingga palang merah internasional meminta agar ia dan Ersa Siregar dibebaskan.
Hampir setahun lamanya, negosiasi pembebasan antara pemerintah Indonesia dan GAM selalu mengalami deadlock.
Hingga ada suatu kesepakatan yang kami dengar melalui siaran radio lokal. Fery senang karena akan segera mendapatkan kebebasan.
Sebuah impian selama berbulan-bulan untuk kembali berkumpul bersama istri dan anak pun mengalir deras dalam pikiran.
Tapi, mimpi itu kembali tertunda. Malam hari menjelang tewasnya Ersa, beberapa anggota GAM memutuskan turun gunung.
Tak lupa, mereka meninggalkan empat pucuk senjata. Bahkan, menawari kami berdua memegang senapan tersebut, tapi ditolak sama Fery.
“Kalau bisa gunakan senjata, pasti kami sudah tembak kalian,” canda Fery saat itu.
Sepeninggal mereka, Fery hanya dijaga seorang anggota GAM. Fery, Ersa, dan seorang pria berusia lebih tua dari kami memilih beristirahat di dalam gubuk.
“Tiba-tiba ada tembakan. Dar-der-dor, rentetan tembakan dari semak-semak. Orang GAM yang sedang memasak di luar tewas kena tembakan,” sergah Fery
Tanpa pikir panjang, Fery mencari cara untuk menyelamatkan diri dari desingan peluru.
Sebuah lompatan kecil berhasil menyelamatkan nyawa Fery dari tembakan yang mengarah ke kaki.
Di tengah ketakutan, Fery masih berupaya menyelamatkan rekannya, namun gagal
Ada tembakan di atas Fery. Ia melompat, masuk ke semak. “Mana banyak duri, hingga badan saya penuh darah,” ucap Fery.
Ia berhasil selamat dari serangan itu, dan memilih bermalam di sebuah tempat.
Di sana, ia bertemu seorang pria yang sebelumnya bersama di gubuk. Sedangkan Ersa, rekannya tak kunjung datang.
“Selama empat hari empat malam. Saya jalan mencari perkampungan. Mana harus lewati empat sungai,” katanya.
Sampai di kampung itu, bukan TNI yang ditemui, tapi anggota GAM lainnya.
Alhasil, ia kembali menjadi sandera. Di tempat itu pula, Fery mengetahui rekannya (Ersa Siregar) telah tewas.
“Lemas badan saya. Saya bingung mau sama siapa lagi? Rekan saya sudah meninggal, tidak ada lagi yang temani saya,” lirihnya.
Jelang malam tahun baru 2004, ia akhirnya dibebaskan berkat upaya diplomasi yang dilakukan organisasi pers dan palang merah internasional.
Sesaat setelah keluar, ia hampir tak mengenali orang-orang terdekat, kecuali anak dan istri.
“Pengalaman mendebarkan itu terus terkenang,” ucapnya pelan.
Cerita ini ditulis kembali seperti dalam buku harian semasa disandera, dokumen yang hingga kini disita Mabes TNI.